"God, I knew You
have the cure for my wound"
4 tahun. Dan dia masih sama seperti saat kami bertemu.
Caranya bicara, berjalan, caranya memandangku bahkan saat tertawa. Daftar lagu
di MP3-nya masih Frank Sinatra dan Nat King Cole. Dan ketika kami dinner berdua
seperti sekarang, dia selalu memesan secangkir espresso setelah makan.
“Kamu inget nggak waktu kali pertama kita bertemu?” dia
bertanya.
“Mana mungkin lupa?! Itu adalah peristiwa paling
memalukan seumur hidupku.” Wajahnya langsung cemberut begitu mendengar
jawabanku. Sementara aku malah tertawa kecil. “becanda, sayang. Nggak mungkin
lah aku malu pernah kenal sama kamu.” Kataku sambil mengacak rambutnya.
“Tapi kalo dipikir-pikir, waktu itu memalukan juga sih.
Kita sampe jadi perhatian seluruh cafĂ© gara-gara rebutan meja.” Gantian dia
yang tertawa. Matanya yang sipit jadi semakin kecil.
“Nggak terasa udah empat tahun.” Gumamku.
“Iya. Ternyata kita udah selama ini.”
Sunyi. Kami berdua sama-sama tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Sesekali saling pandang dan melempar senyum seakan kami
bertelepati. Terlalu banyak hal yang sudah aku jalani bersama Amanda. Dia perempuan
yang cantik, baik, sopan dan penurut. Nggak ada hal yang paling aku inginkan di
dunia ini selain menikahinya dan hidup bersama. Tapi cita-cita sederhana itu
ternyata nggak mudah untuk diwujudkan. Apa pun yang aku miliki sekarang, masih
belum bisa untuk mendapatkan dan memiliki Amanda seutuhnya.
“Eka.” Panggilnya.
“Hm, kenapa sayang?” aku sedikit heran dia hanya
memanggil namaku.
Sunyi kembali. Amanda memainkan cangkir espresso-nya
beberapa saat. Lalu memandangku yang menunggu kalimat selanjutnya. Mata itu
berbeda dengan beberapa menit yang lalu yang terlihat berbinar.
“Aku ingin kita putus.” Tidak ada kata pengantar atau kalimat
petunjuk. Singkat dan beberapa saat membuatku berpikir kalau aku salah dengar.
Tapi meskipun pantai di belakangku saat ini terkena gelombang tsunami pun, aku
rasa kalimat itulah yang dia ucapkan.
“Kamu serius?” aku nggak tau harus mengatakan apa. Hanya
ini satu-satunya yang aku pikirkan.
“Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Hubungan kita nggak
mungkin dipertahankan.” Jelas Amanda.
“Kita sudah jalan selama empat tahun. Pasti masih bisa
lebih lama dari itu.” Dia menggeleng. Wajahnya terlihat putus asa.
“Nggak, Eka. Sejak awal kamu tau kalo pada akhirnya akan
begini. Hubungan kita nggak mungkin diteruskan.”
“Trus buat apa dulu kita susah-susah bikin rencana buat
masa depan?” sambungku cepat. “Anda, aku udah berkorban banyak buat hubungan
kita. Aku sudah memikirkan segala resikonya ketika pacaran sama kamu. Dan
setelah empat tahun, kamu minta putus?”
“Aku juga nggak menginginkan ini. Tapi Cuma ini jalan
satu-satunya yang bisa memperjelas status kita.” Jawabnya. “kita berbeda, Ka.”
“Nggak ada yang salah dengan perbedaan. Kita masih tetep
bisa menjalaninya sama-sama kok.”
“Nggak. Terkadang sebuah perbedaan nggak harus bersatu.
Kita nggak seiman. Aku nggak mungkin mengikuti keyakinan kamu. Kalo pun kita
nekad untuk menikah dengan tetap menganut keyakinan masing-masing, Mamiku nggak
setuju.” Katanya.
Aku membuang pandang ke arah pantai yang berjarak hanya
beberapa meter dari kami. Berharap suasana hatiku akan lebih baik. Ini bukan
kado yang aku harapkan di ulang tahun kami yang keempat. Dan aku nggak berharap
bukan ini solusi yang tepat untuk hubungan kami yang terlalu banyak perbedaan.
Ya, aku dan Amanda memang terlalu berbeda. Aku Jawa, dia Tionghoa. Aku
bartender, dia pelukis. Aku shalat di masjid, sedangkan dia tidak pernah absen
mengikuti misa di gereja. Sejak awal pertemuan kami di pulau dewata ini sampai
menjalin hubungan hingga sekarang, aku tahu ini tidak akan mudah.
“Kamu sudah tahu sejak menghadap ke Mami tiga tahun yang
lalu, Mami dan keluarga besarku nggak akan merestui kita. Tapi kamu masih ingin
kita jalan.” Kata Amanda setelah menunggu aku tidak mengatakan apa pun. “sudahlah,
Ka. Ini semua sia-sia aja. Meskipun ibu kamu nggak masalah dengan keyakinanku,
tapi kita tetap nggak bisa menikah tanpa restu dari Mami. Aku minta maaf kalo
akhirnya harus mengatakan ini sama kamu.” Sambungnya.
“Tolong lihat aku kalo lagi ngomong!” suaranya agak
meninggi saat aku masih serius memandangi pantai. Mau tidak mau aku menoleh ke
arah wajahnya yang kesal bercampur marah. “aku minta maaf.” Dia mengatakannya
lagi. “tolong kamu ngerti.”
Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum samar dan mengacak
rambutnya lalu berdiri dan berjalan menuju kasir. Amanda memandangku bingung
dari meja kami. Setelah melunasi bill makan malam, aku mendatanginya kembali.
“Ayo ikut.” Ajakku.
“Ke mana?”
“Jalan-jalan.” Dia menurut. Diraihnya tanganku yang
terulur dan mengikutiku.
Sepanjang jalan kami hanya saling diam. Sesekali Amanda
memainkan ombak yang menyapa kakinya yang telanjang sementara tangan kirinya
menggenggam erat tanganku. Entah sudah berapa jauh kami menyusuri pantai. Saat
bertemu dengan pohon kelapa yang tumbang, aku mengajaknya duduk untuk
beristirahat. Langit sudah sangat gelap, tapi aku belum ingin pulang. Diam-diam
aku berdoa supaya Allah mengirim tsunami saat ini. Supaya kami bisa sama-sama
menghadapNya. Hhhh…. Tapi itu pikiran konyol.
“Sini.” Kutarik tangannya dan Amanda pun menempelkan
tubuhnya padaku. Aku lalu melingkarkan lenganku ke tubuhnya yang kecil
sementara kepalanya bersandar di bahuku. Kami kembali diam. Hanya menikmati
suara debur ombak yang terdengar malas. Semilir angin berhembus pelan, membuat
Amanda sedikit gemetar dan semakin merapatkan tubuhnya kepadaku.
“Dingin ya?” tanyaku.
“Iya.” Jawabnya yang lebih terdengar seperti menggumam.
Aku melepas jaket yang kukenakan lalu menyelimutkan ke tubuhnya sambil
mengeratkan pelukanku.
“Makasih.” Katanya sambil tersenyum memandangku. Aku
balas tersenyum lalu mengecup bibirnya. Suara debur ombak masih terdengar malas
bahkan saat aku menjauhkan wajahnya dariku. Tanpa terasa kami sudah berpelukan
sepanjang malam saat matahari samar-samar menyemburatkan cahayanya.
Pelan-pelan kulepaskan tubuhnya, berdiri lalu berbalik
pergi. Kubiarkan dia tetap mengenakan jaketku. Meninggalkan jejak pelukanku di
tubuhnya. Aku berjalan cepat dan tiba-tiba saja pandanganku kabur. Seorang
turis asing tanpa sengaja kutabrak. “Sorry.” Kataku lalu kembali berjalan
cepat.
Secerah apa pun hari ini, bagiku tetap saja mendung.
Siapa yang sangka kalau putus ternyata sesakit ini. Sudahlah, ini memang yang
terbaik. Dia hanya ingin aku bahagia. Dan pasti mengatakan kalimat terkutuk itu
juga menyakitkan buat Amanda. Aku hanya perlu mencari obat untuk menyembuhkan
kesedihan ini. Sudahlah Eka. Semua bakal baik-baik saja. Aku mengusap sudut
mataku lalu menyalakan mesin motor dan segera pergi. Pulang.
-FIN-
PS: Untuk sahabatku yang baru berpisah. Percayalah, Allah will gives you the cure for your wound.