Kamis, 03 Oktober 2013

Ketika Aku Ingin Bicara Dengan Tuhan

Sungguh Tuhan,
Bukan ini yang aku inginkan dari komitmen yang sudah kami buat.
Kami terlalu berat menanggungnya. Bahkan kami ragu, apakah benar ini kasih sayangMu?
Terlalu banyak yang kami pikirkan. Yang harus kami tanggung. Sampai-sampai kami bingung bagaimana harus menyelesaikannya.
Mungkin kami tahu apa yang harus kami lakukan. Tapi sepertinya masih terlalu berat untuk kami. Atau kamilah yang merasa berat.
Tuhan,
Bicara itu mudah sekali ya? 

Kamis, 26 September 2013

Catatan Katak

Tidak ada yang tahu siapa saya. Seperti apa saya hidup. Dan bagaimana saya bersikap.
Sejak dulu saya seperti dilatih untuk curiga pada apa yang saya temui. Tujuannya mungkin biar saya waspada. Tapi itu berlanjut menjadi paranoid berkepanjangan yang akhirnya membuat saya terisolasi dari dunia. Saya menjadi terbiasa untuk menunduk, memalingkan wajah, atau memicingkan mata ketika berhadapan dengan dunia. Tidak (atau belum) ada yang berhasil meyakinkan saya bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak perlu dicurigai.

Ada banyak orang yang seperti saya, tapi hanya saya yang belum bisa keluar menyapa dan menyalami dunia seperti kawan lama. Hanya saya yang masih membawa tempurung untuk melindungi diri. Hanya saya yang lebih memilih untuk tinggal di rumah pada saat semua orang bersenang-senang. Hanya saya yang masih mencari celah untuk lari tapi tidak pernah menemukan.

Dulu saya merasa nyaman menjadi makhluk dalam tempurung. Tapi sekarang, saya seperti narapidana yang harus menunggu antrian untuk sidang padahal tidak pernah berbuat salah. Menjadi makhluk dalam tempurung bukan keinginan saya. Menjadi seseorang yang menutup diri dari dunia tidak pernah ada dalam daftar keinginan hidup saya. Tapi melepaskan tempurung begitu saja, belum rela saya lakukan.

Kamis, 10 Januari 2013

IT WILL RAIN



            "God, I knew You have the cure for my wound"

            4 tahun. Dan dia masih sama seperti saat kami bertemu. Caranya bicara, berjalan, caranya memandangku bahkan saat tertawa. Daftar lagu di MP3-nya masih Frank Sinatra dan Nat King Cole. Dan ketika kami dinner berdua seperti sekarang, dia selalu memesan secangkir espresso setelah makan.

            “Kamu inget nggak waktu kali pertama kita bertemu?” dia bertanya.
            “Mana mungkin lupa?! Itu adalah peristiwa paling memalukan seumur hidupku.” Wajahnya langsung cemberut begitu mendengar jawabanku. Sementara aku malah tertawa kecil. “becanda, sayang. Nggak mungkin lah aku malu pernah kenal sama kamu.” Kataku sambil mengacak rambutnya.
            “Tapi kalo dipikir-pikir, waktu itu memalukan juga sih. Kita sampe jadi perhatian seluruh cafĂ© gara-gara rebutan meja.” Gantian dia yang tertawa. Matanya yang sipit jadi semakin kecil.
            “Nggak terasa udah empat tahun.” Gumamku.
            “Iya. Ternyata kita udah selama ini.”

            Sunyi. Kami berdua sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sesekali saling pandang dan melempar senyum seakan kami bertelepati. Terlalu banyak hal yang sudah aku jalani bersama Amanda. Dia perempuan yang cantik, baik, sopan dan penurut. Nggak ada hal yang paling aku inginkan di dunia ini selain menikahinya dan hidup bersama. Tapi cita-cita sederhana itu ternyata nggak mudah untuk diwujudkan. Apa pun yang aku miliki sekarang, masih belum bisa untuk mendapatkan dan memiliki Amanda seutuhnya.

            “Eka.” Panggilnya.
            “Hm, kenapa sayang?” aku sedikit heran dia hanya memanggil namaku.

            Sunyi kembali. Amanda memainkan cangkir espresso-nya beberapa saat. Lalu memandangku yang menunggu kalimat selanjutnya. Mata itu berbeda dengan beberapa menit yang lalu yang terlihat berbinar.

            “Aku ingin kita putus.” Tidak ada kata pengantar atau kalimat petunjuk. Singkat dan beberapa saat membuatku berpikir kalau aku salah dengar. Tapi meskipun pantai di belakangku saat ini terkena gelombang tsunami pun, aku rasa kalimat itulah yang dia ucapkan.
            “Kamu serius?” aku nggak tau harus mengatakan apa. Hanya ini satu-satunya yang aku pikirkan.
            “Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Hubungan kita nggak mungkin dipertahankan.” Jelas Amanda.
            “Kita sudah jalan selama empat tahun. Pasti masih bisa lebih lama dari itu.” Dia menggeleng. Wajahnya terlihat putus asa.
            “Nggak, Eka. Sejak awal kamu tau kalo pada akhirnya akan begini. Hubungan kita nggak mungkin diteruskan.”
            “Trus buat apa dulu kita susah-susah bikin rencana buat masa depan?” sambungku cepat. “Anda, aku udah berkorban banyak buat hubungan kita. Aku sudah memikirkan segala resikonya ketika pacaran sama kamu. Dan setelah empat tahun, kamu minta putus?”
            “Aku juga nggak menginginkan ini. Tapi Cuma ini jalan satu-satunya yang bisa memperjelas status kita.” Jawabnya. “kita berbeda, Ka.”
            “Nggak ada yang salah dengan perbedaan. Kita masih tetep bisa menjalaninya sama-sama kok.”
            “Nggak. Terkadang sebuah perbedaan nggak harus bersatu. Kita nggak seiman. Aku nggak mungkin mengikuti keyakinan kamu. Kalo pun kita nekad untuk menikah dengan tetap menganut keyakinan masing-masing, Mamiku nggak setuju.” Katanya.

            Aku membuang pandang ke arah pantai yang berjarak hanya beberapa meter dari kami. Berharap suasana hatiku akan lebih baik. Ini bukan kado yang aku harapkan di ulang tahun kami yang keempat. Dan aku nggak berharap bukan ini solusi yang tepat untuk hubungan kami yang terlalu banyak perbedaan. Ya, aku dan Amanda memang terlalu berbeda. Aku Jawa, dia Tionghoa. Aku bartender, dia pelukis. Aku shalat di masjid, sedangkan dia tidak pernah absen mengikuti misa di gereja. Sejak awal pertemuan kami di pulau dewata ini sampai menjalin hubungan hingga sekarang, aku tahu ini tidak akan mudah.

            “Kamu sudah tahu sejak menghadap ke Mami tiga tahun yang lalu, Mami dan keluarga besarku nggak akan merestui kita. Tapi kamu masih ingin kita jalan.” Kata Amanda setelah menunggu aku tidak mengatakan apa pun. “sudahlah, Ka. Ini semua sia-sia aja. Meskipun ibu kamu nggak masalah dengan keyakinanku, tapi kita tetap nggak bisa menikah tanpa restu dari Mami. Aku minta maaf kalo akhirnya harus mengatakan ini sama kamu.” Sambungnya.
            “Tolong lihat aku kalo lagi ngomong!” suaranya agak meninggi saat aku masih serius memandangi pantai. Mau tidak mau aku menoleh ke arah wajahnya yang kesal bercampur marah. “aku minta maaf.” Dia mengatakannya lagi. “tolong kamu ngerti.”

            Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum samar dan mengacak rambutnya lalu berdiri dan berjalan menuju kasir. Amanda memandangku bingung dari meja kami. Setelah melunasi bill makan malam, aku mendatanginya kembali.
            “Ayo ikut.” Ajakku.
            “Ke mana?”
            “Jalan-jalan.” Dia menurut. Diraihnya tanganku yang terulur dan mengikutiku.

            Sepanjang jalan kami hanya saling diam. Sesekali Amanda memainkan ombak yang menyapa kakinya yang telanjang sementara tangan kirinya menggenggam erat tanganku. Entah sudah berapa jauh kami menyusuri pantai. Saat bertemu dengan pohon kelapa yang tumbang, aku mengajaknya duduk untuk beristirahat. Langit sudah sangat gelap, tapi aku belum ingin pulang. Diam-diam aku berdoa supaya Allah mengirim tsunami saat ini. Supaya kami bisa sama-sama menghadapNya. Hhhh…. Tapi itu pikiran konyol.

            “Sini.” Kutarik tangannya dan Amanda pun menempelkan tubuhnya padaku. Aku lalu melingkarkan lenganku ke tubuhnya yang kecil sementara kepalanya bersandar di bahuku. Kami kembali diam. Hanya menikmati suara debur ombak yang terdengar malas. Semilir angin berhembus pelan, membuat Amanda sedikit gemetar dan semakin merapatkan tubuhnya kepadaku.
            “Dingin ya?” tanyaku.
            “Iya.” Jawabnya yang lebih terdengar seperti menggumam. Aku melepas jaket yang kukenakan lalu menyelimutkan ke tubuhnya sambil mengeratkan pelukanku.
            “Makasih.” Katanya sambil tersenyum memandangku. Aku balas tersenyum lalu mengecup bibirnya. Suara debur ombak masih terdengar malas bahkan saat aku menjauhkan wajahnya dariku. Tanpa terasa kami sudah berpelukan sepanjang malam saat matahari samar-samar menyemburatkan cahayanya.

            Pelan-pelan kulepaskan tubuhnya, berdiri lalu berbalik pergi. Kubiarkan dia tetap mengenakan jaketku. Meninggalkan jejak pelukanku di tubuhnya. Aku berjalan cepat dan tiba-tiba saja pandanganku kabur. Seorang turis asing tanpa sengaja kutabrak. “Sorry.” Kataku lalu kembali berjalan cepat.

            Secerah apa pun hari ini, bagiku tetap saja mendung. Siapa yang sangka kalau putus ternyata sesakit ini. Sudahlah, ini memang yang terbaik. Dia hanya ingin aku bahagia. Dan pasti mengatakan kalimat terkutuk itu juga menyakitkan buat Amanda. Aku hanya perlu mencari obat untuk menyembuhkan kesedihan ini. Sudahlah Eka. Semua bakal baik-baik saja. Aku mengusap sudut mataku lalu menyalakan mesin motor dan segera pergi. Pulang.

-FIN-

PS: Untuk sahabatku yang baru berpisah. Percayalah, Allah will gives you the cure for your wound.