Rabu, 26 Desember 2012

Idola (Tidak) Sama Dengan Dewa

Ada satu fenomena menarik yang akhir-akhir ini saya bahas bareng seorang teman kantor. Tentang groupies atau fanatis mungkin lebih tepatnya. Mereka ini adalah fans yang bisa dibilang gila-gilaan lah mendukung idolanya. Mohon dikoreksi kalo istilah saya salah ya. Apalagi dengan mudahnya teknologi seperti sekarang, sangat gampang bagi seorang idola menggalang dukungan dan memperoleh fans sebanyak-banyaknya. Pun untuk para fans, gampang banget buat mereka berinteraksi dengan idolanya meskipun cuma di dunia maya.

Tapi seiring berjalannya waktu, lama kelamaan saya jadi mendapati ada semacam bullying antar fans -jiah... bahasa saya kayak editor tabloid aja... hahaha...- Yang paling gampang diinget aja, pas Selena Gomez pacaran sama Justin Bieber , para beliebers langsung mention ke akun twitter Selena Gomez pake ancaman yang nggak cuma ekstrim, tapi triple ekstrim. Pake mau ngebunuh segala. Udah gitu yang kena ancem bukan cuma idolanya, tapi juga fans-nya. Pernah denger cerita dari temen juga kalo dia pernah in touch sama seorang K-Pop Lovers. Temen saya nih kebetulan seorang Japanesia. Orang Indonesia yang suka segala hal tentang Jepang. Nah, si K-Pop Lovers ini suka nggak terima tuh waktu temen saya membahas kekurangan para Idol K-Pop. Dia ngebelain orang-orang negeri ginseng yang belum tentu kenal sama dia ini sengotot-ngototnya bahkan kalo perlu sampe mati kali. Hahaha... Miris banget denger ceritanya. Belum lagi kalo suka baca berita para seleb di internet -ampun dah...!!!- yang melibatkan para fans di garda depan sebagai Pasukan Pembela Idolanya, kadang suka ketawa sendiri. Bukan berarti saya nggak menghargai idola setiap orang. Saya sendiri juga punya idola. Mungkin sama dengan idola kamu, tapi saya nggak akan -dan mudah-mudahan nggak akan pernah- se-brutal para groupies yang ngebelain idolanya mati-matian. Mulai dari nyerang orang lain yang mengritik idolanya, bullying via twitter, sampe curhat di-wall facebook dan yang lebih parah adalah memuja idolanya setinggi langit. Padahal belum tentu mereka ngebelain ibunya sendiri se-ekstrim itu

It's ok kalo kamu mau appreciate prestasi idola kamu, tapi nggak usah langsung menghujat haters ketika mereka menghina idola kamu. Bukannya itu malah nunjukin kalo kamu bukan fans yang qualified untuk mengidolakan sosok yang WOW? Rasanya saya pengen gitu ngomong ke fans yang lebay ini, cobalah lihat gimana idola kamu menghadapi haters. Kalo dia menanggapi komen para haters dengan cara elegant, ya kamu harus menirunya juga. Tapi kalo idola kamu menanggapi para haters dengan brutal dan kamu menirunya, berarti kamu salah memilih idola. Hahaha... -maksa sekali- Dan satu lagi. Idola juga manusia. Jadi ketika mereka tersandung masalah dan jadi bulan-bulanan media, kita dukung seperlunya aja. Cukup support moril tanpa mengabaikan kekurangan dia. Jangan tutup mata karena itu sama saja kita mendewakan mereka.

At least, silahkan jika kamu mau mendukung idolamu dalam karyanya dan menguatkan mereka dalam musibahnya. Tapi be elegant, itu yang menunjukkan kalau kita adalah fans yang cerdas. Banggakan kelebihannya, dan terima kekurangannya. Maka para haters pun akan menghargai idola kamu dan para fans-nya.

Minggu, 23 Desember 2012

A Day before The Day

Aku mondar-mandir dengan cemas dalam kamar. Sesekali berhenti di depan cermin pintu lemari. Memerhatikan diriku dengan seksama. Wajah bulat dengan hiasan beberapa bintik jerawat, rambut sebahu yang tampak tipis -it's ok. Nanti bisa pake conditioner merk baru setelah keramas- dan tubuh kurus yang nggak terlalu tinggi -well, sebenernya perut yang sedikit berlemak itu nggak benar-benar mengesankan kurus- setelah itu menghempaskan diri di atas kasur yang sengaja digelar tanpa ranjang. Duduk tanpa melakukan apa-apa.

Kupandangi sekeliling kamar dan mendengar lalu lalang orang-orang yang sibuk di luar. Besok. Kuambil bantal dan mulai merebahkan diri. 12 tahun yang lalu aku menempati kamar ini sebagai gadis berusia 12 tahun. Setelah itu meninggalkannya untuk mengejar mimpi dan melihat-lihat dunia. Dan sekarang aku kembali lagi untuk menghadapi hari yang benar-benar bersejarah. Ternyata waktu memang sangat cepat berlalu. Aku sendiri nggak menyangka sudah sebesar ini. Aku lalu bangun dan membuka pintu. Kampir saja menabrak seorang ibu yang datang terburu-buru membawa bungkusan besar.
"Eh, ini tho calon pengantennya?" aku tersenyum menjawab pertanyaannya yang ramah.
"Selamat ya nduk. Nggak nyangka lho, akhirnya kamu nyusul adikmu juga." katanya disusul derai tawa.
"Terima kasih." jawabku singkat. Aku sedang nggak ingin bicara malam ini.
"Oh iya. Ibumu mana? Bulik ada titipan ini."
"Mmmm... tadi sepertinya di belakang bulik. Mari saya antar." aku berjalan mendahului perempuan paruh baya itu menuju dapur yang nggak kalah sibuk. Semua orang menyambutku ramah. Sepertinya mereka ikut berbahagia meskipun bertugas di dapur yang semrawut.
Aku mendatangi seorang wanita paruh baya yang sibuk mengupas bawang.
"Bu." aku menyentuh pundaknya.
"Kenapa nduk?"
"Ada bulik." jawabku pendek. Ibuku menoleh dan langsung terlibat obrolan seru dengan tamu yang datang tadi. Aku kemudian meninggalkan dua orang wanita itu di dapur yang semakin ramai. Saat sampai di pintu aku berhenti dan menoleh ke arah ibuku yang wajahnya terlihat bahagia dan segar. Padahal jejak usia terlihat jelas di wajah 64 tahunnya. Badannya yang berubah kendor dibalut daster lengan panjang. Dan rambut itu sepertinya lebih banyak uban daripada kemarin.
Tiba-tiba aku seakan mendengar suara piano yang mengalun pelan mengiringi perasaan melankolis yang tiba-tiba datang. Ibu tertawa dan memperlihatkan giginya yang mulai tanggal. Tangannya masih sibuk mengupas bawang sambil sesekali menanggapi obrolan tamunya. Ibu ternyata sudah setua ini. Atau cuma perasaanku karena selama ini jarang di rumah? Kemarin aku mencium tangan itu selepas shalat 'isya. Baru benar-benar aku rasakan teksturnya yang lebih kasar dari tanganku sendiri. Kemudian beliau melanjutkan wirid dan mengaji. Suaranya terdengar agak sengau tapi tetap jelas. Sepertinya dulu suara ibu lebih merdu ketika mengaji. Apa karena sudah tua? Tapi, suara itulah yang selalu melantunkan do'a buatku. Tangan itulah yang bekerja keras untukku. Membelai kepalaku saat meminta restu dan bibir itu yang mencium pipiku selama 24 tahun ini dengan penuh sayang. Ada sedikit perasaan bersalah mengingat besok aku akan dinikahi oleh orang yang baru kukenal 2 tahun ini. Ibu kira-kira marah nggak kalo aku tinggal? Ibu kecewa nggak kalo aku jarang menemaninya? Ibu sakit hati nggak kalo aku lebih jarang pulang?
Tiba-tiba saja suara piano itu berhenti dan berganti dengan keriuhan semula. Aku langsung menghapus air mata yang tiba-tiba merembes dan berlalu ke kamarku lagi. Tepat saat pintu kamar menutup, ponselku berbunyi, memainkan single Payphone milik Maroon 5.
"Halo?" sapaku sambil menahan tangis.
"Sayang, kamu lagi apa?" ternyata calon suamiku.
"Nggak... apa-apa..." jawabku sedikit tersedak. Aku bener-bener nggak bisa nahan tangis.
"Kamu kepikiran ibu ya?" aku mengangguk lalu buru-buru menjawab 'iya' mengingat dia tidak ada di hadapanku sekarang.
"Insya Allah ibu bakal baik-baik aja. Dia justru bahagia bisa lihat kamu menikah. Jangan nangis dong, masa calon pengantin matanya bengkak? Nanti aku dikira nikah sama panda lagi..." candanya yang membuatku sedikit terhibur dan tertawa kecil di sela tangis.
"Kalo... nanti.... aku kangen ibu,... boleh pulang nggak?" tanyaku.
"Boleh, sayang. Nanti aku sendiri yang anter kamu pulang." jawabnya. Aku menggumamkan terima kasih lalu diam. Hanya sesekali terisak karena tidak tahu harus bicara apa lagi. Calon suamiku masih menyalakan teleponnya, sebelum menyuruhku ke kamar mandi dan mengambil wudhlu.

Jumat, 07 Desember 2012

Ketika Sama-Sama Sulit... (Baca dan Renungkan)

Pernahkah dalam kondisi di mana kamu sedang kesulitan dan butuh uang, sementara temanmu juga mengalami hal yang sama? Saya menyebut kondisi ini sebagai dilemma. Ketika ada orang yang meminta pertolongan kita sementara kita sendiri juga sedang kesulitan.

Sekitar 5 hari yang lalu, ada seorang teman yang meminjam uang ke saya dengan nominal yang lumayan besar. Bukan untuk kebutuhan primer, melainkan untuk kebutuhan skundernya yang juga penting. Sebenernya saya juga sedang membutahkan uang yang dia pinjam. Tapi entah apa yang ada di pikiran saya saat itu, saya langsung meminjamkan saja. Dia mengucapkan terima kasih dan berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin.

Tapi setelah itu, jadi hal yang sedikit banyak membuat saya menyesal meminjamkan uang itu. Karena begitu pacar saya tahu, dia marah bukan main. Soalnya kami memang sedang butuh dana lebih untuk pernikahan nanti. Sampai-sampai, dia bilang saya ini pahlawan kesiangan. Kami akhirnya beradu argumen via SMS. That was sucks. Karena seakan-akan saya ini nggak punya otak dan bersikap seolah-olah saya punya segalanya dengan meminjamkan uang yang saya butuhkan. Ketika saya curhat pada seorang teman pun. Kurang lebih mendapatkan jawaban yang sama. Memang nggak se-ekstrim jawaban pacar saya, tapi dia menyesalkan kenapa saya justru dengan mudah mengasihani orang tanpa melihat kondisi diri sendiri?! Saya nggak tahu mesti berargumen apa. Sempat ada bayangan kalau uang yang saya pinjamkan akan lama kembalinya dan merusak rencana-rencana saya. Karena rencana awal, uang itu akan digunakan untuk mengganti uang yang saya pinjam dari ibu ketika mengurus berkas pernikahan.

Di tengah suasana hati yang serba nggak menyenangkan itu, saya teringat beberapa cerita di mana sang tokoh utama yang kesulitan menolong orang lain yang juga sama kesulitannya dengan dia. Misalnya, cerita tentang seorang pelacur yang meninggal hanya gara-gara memberikan air yang dia dapat dengan susah payah kepada seekor anjing. Pelacur dan anjing itu sama-sama makhluk yang dibenci oleh orang-orang di agama kami. Tapi Allah menaikkan derajat si pelacur dan memberinya tempat di surga gara-gara menolong sesama makhlukNya yang kesulitan. Si pelacur bisa saja meminum air itu sendiri dan membiarkan si anjing mati kehausan, toh dia yang susah payah mengambil air itu dari oasis yang hampir kering untuk membasahi tenggorokan.

Manusia adalah makhluk yang egois. Tapi bolehkah kita meng-halal-kan egoisme untuk hal yang mendesak. Mungkin kamu akan bilang, 'saya kerja susah-susah biar dapet uang buat makan. Kamu seenaknya aja minjem!' atau mungkin yang lebih halus 'maaf ya, saya lagi butuh uang itu.'
Entahlah, kayak ada sesuatu yang memberontak di sudut hati saya. Semacam, 'kenapa kamu biarin orang lain makan tempe sementara kamu bisa makan daging?'

Saya mungkin orang yang bodoh soal mendahulukan kepentingan diri sendiri atau orang lain. Tapi, biarlah Sang Pencipta saya yang menilai. Saya hanya berpikir, manusia diturunkan ke dunia untuk saling membantu dalam hal apa pun. Asal nggak melanggar hukum.

Maka saya berdo'a kepada Allah, kalo memang saya sangat bodoh dengan memberi pinjaman orang lain padahal saya sendiri juga butuh, maka saya nggak akan mengulangi lagi.Saya akan mengatakan alasan apa pun supaya orang berhenti meminta belas kasihan saya. Tapi kalau apa yang saya lakukan benar, maka saya minta satu keajaiban saja. Kembalikan uang saya secepatnya.

Saya bukan ahli ibadah atau ahli agama, tapi saya tahu seberapa besar pun dosa seseorang, mereka tetap berhak berdoa dan meminta kepada Tuhannya. Maka keajaiban itu memang terjadi, keesokan harinya uang itu kembali dengan jumlah yang sama saat saya meminjamkan. Saya bersyukur bisa membuktikan keajaiban secepat ini, dan semoga di masa yang akan datang, nggak akan ragu lagi menolong orang. Saya belajar bahwa, sesulit apa pun, manusia masih diberi kemampuan untuk menolong sesama. Dan bayarannya, sangat besar.

Minggu, 23 September 2012

Suatu Petang Di Taman Dayu...

Hidup ini penuh misteri, penuh kejutan, serba kadang-kadang, dan absurd yang semuanya terangkum dalam satu kata, takdir. Mungkin takdir juga lah yang mempertemukan aku dengan seorang sahabat lama.

Sore menjelang petang adalah waktu yang Tuhan pilih untuk mempertemukan aku dengannya di Food Terrace, sebuah pujasera yang berlokasi di Taman Dayu, tempat hangout paling hip di Pandaan, sebuah pusat industri di Kabupaten Pasuruan tempat aku mencari nafkah.

"Ups, maaf..." gumam seorang perempuan yang nggak sengaja menabrakku.
"Nggak apa-apa." kataku sambil tersenyum sekilas dan berlalu ke meja yang kuincar setelah memesan seporsi nasi bebek dan segelas wedang jahe di salah satu stand. Bersamaan dengan aku duduk, tiba-tiba smartphone-ku berbunyi. Rupanya ada pesan. Segera kuperiksa sambil menunggu pesanan datang. Hmm.... sekalian ber-twitter sepertinya nggak masalah. Pesanannya mungkin agak lama.
"Uhm... maaf mbak, boleh duduk sini?" tegur seseorang.
"Silahkan... lho?" aku tertegun sejenak. Bukan karena orang yang menegurku ini adalah orang yang menabrakku tadi, tapi dia adalah orang yang sudah lama nggak kujumpai. Perempuan itu juga sama-sama kaget.
"Lyla?" tanyaku ragu.
"Iya... kamu... Sessa, bukan?" ia balas bertanya.
"Iya. Subhanallah... apa kabar Lyl?" aku bergegas berdiri dan merangkulnya. Terkejut sekaligus senang dengan pertemuan kami yang tiba-tiba.
"Baik. Alhamdulillah... nggak nyangka ketemu kamu di sini."
"Harusnya aku yang ngomong begitu. Ayo duduk." ajakku, "aku kan emang kerja di kota ini. Sedangkan kamu, bukannya di Bandung? Kok nyasar ke Pandaan?" Lyla tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
"Aku kan udah pulang kampung. Masa nggak tau sih?"
"Hahaha... iya, iya. Akunya yang lupa, maklum, udah menuju usia lanjut." ujarku yang diiringi tawa kami bersamaan dengan pesanan yang datang.

Lyla adalah teman sekolahku waktu di Kediri, kota kelahiranku. Kami nggak bisa dibilang dekat, tapi juga nggak terlalu renggang. Berteman biasa. Setahuku memang Lyla tinggal di Bandung setelah menikah dengan seorang pengusaha begitu lulus kuliah. Jadi aku cukup kaget ketika menjumpainya di Pandaan, kota yang setahuku belum pernah ia kunjungi. Sambil menyantap pesanan masing-masing, kami bertukar cerita saat masih SMA dulu. Gimana kabar teman-teman dan apa pekerjaan mereka. Juga keinginan untuk mengadakan reuni.
"Eh iya, gimana kabar anakmu? Siapa ya, namanya?"
"Armand." sahut Lyla.
"Nah, itu. Apa kabarnya? Udah segedhe apa sekarang?" kataku antusias.
Lyla tidak segera menjawab. "aku nggak tau." katanya pelan.
"Kok nggak tau?"
"Yah... dia kan udah punya mama baru. Jadi aku nggak tau kabarnya sekarang." jelas Lyla.
"Kamu divorced ya?" Lyla mengangguk. "sorry."
"It's ok. Aku nggak menyesal kok, Ses. Cuma yang aku sesali, kenapa Armand nggak bisa sama aku. Aku mungkin memang nggak sekaya Daryl, mantan suamiku. Tapi aku masih sanggup memenuhi kebutuhan Armand, bahkan menyekolahkan dia nanti." curhatnya.
Suasana jadi agak murung. Sementara aku melahap suapan terakhir dan Lyla meletakkan sendok. Sepertinya selera makannya lenyap.
"Udahlah, aku nggak pengen ngomongin itu sekarang. Sesekali masih bisa ketemu anakku kok. Lagian sekarang juga, aku udah punya pacar." katanya. Aku tersenyum.
"Ternyata Lyla yang dulu masih ada. Easy go, easy come." kami tertawa menanggapi kata-kataku. "kalo boleh tau, sama siapa nih sekarang? Kalo bisa jangan lama-lama pacarannya."
"Kamu kenal orangnya kok."
"Oh ya? temen kita juga dong?"
"Hm... bisa dibilang begitu."
"Wah, siapa ya? Kenapa main rahasia segala sih?" tanyaku benar-benar penasaran. Lyla tertawa, lalu mengambil smartphone-nya dan mengutak-atik sejenak. Beberapa menit kemudian ia menghadapkan layar smartphone-nya kepadaku. Foto Lyla bersama seorang pria yang wajahnya cukup familiar untukku.
"Ini... bukannya Zacky ya?" tanyaku memastikan. Aku ingat, di SMA dulu kami punya senior bernama Zacky yang sempat berpacaran dengan Lyla. Tadinya kupikir Lyla akan menggeleng, tapi di luar dugaan dia mengangguk dengan tanpa ragu.
"Tapi bukannya Zacky udah married?" tanyaku. Lebih tepatnya menggumam.
"Yup. Begitulah." jawab Lyla ringan seraya mengambil kembali smartphone-nya dari tanganku. "tapi nggak masalah. Dia memang mencintai istrinya. Tapi masih sayang sama aku." lanjutnya sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum datar. Senang mengetahui Lyla nggak banyak berubah. Tapi miris kenapa dia harus jadi selingkuhan orang....
"Kamu nggak kasihan sama istrinya?" tanyaku setelah kami saling diam beberapa menit.
Lyla tersenyum kecil. "gimana ya? Istri Zacky, wanita yang baik. Taat sama suami. Sayang, Zacky nggak ada bedanya sama Daryl." katanya datar. Tapi suaranya terdengar muram. Aku menunggunya bicara lagi. "Olivia, istri Daryl yang sekarang, dulu posisinya sama kayak aku. She's a lucky woman. Setidaknya Daryl menikahinya. Sedangkan aku... hmh... mungkin bakal jadi pacar gelap Zacky terus." jelasnya yang disusul tawa hambar.
"Aku becanda kok, Ses. Tentu aja one day aku pengen punya suami yang bukan suami orang dan mau membimbing aku." katanya dengan nada ceria dan optimis. Tapi aku nggak yakin dia seoptimis itu. Aku ikut tersenyum. Bingung harus gimana sebenernya...

Lima menit kemudian Lyla pamit. Dia harus ke Surabaya untuk mengurus bisnis barunya. Aku dengan tulus memberikan support-ku untuk yang satu ini dan memeluknya sebelum dia berlalu menuju mobilnya. Aku masih duduk di meja dan menatap kosong pada tumpukan tulang dan mentimun di piring, lalu mengambil smartphone-ku dan mencari nama seseorang di buku telepon.

Nada sambung terdengar sebelum kemudian seseorang berkata,
"Halo, sayang..."
"Assalamu'alaikum, honey."
"Wa'alaikumussalam... tumben kamu telepon?" katanya lembut.
"Kamu sayang aku kan?" tanyaku tanpa basa-basi.
Sunyi. Tapi selanjutnya aku mendengar dengan sangat jelas dan tidak perlu merasa khawatir lagi.
"Aku sayang kamu kemarin, hari ini, besok dan seterusnya meskipun kamu nggak tanya dan nggak mau tahu."
Aku tersenyum, bersamaan dengan gerimis yang membasahi bumi Pandaan..

--End--

Rabu, 05 September 2012

Mengaplikasikan Cinta

Judulnya mungkin sedikit membuat kita mengerutkan kening. Tapi inilah yang saya ingin share dengan siapa pun yang mengunjungi blog saya. Mengaplikasikan Cinta. Bagaimana cara menerapkan cinta dalam hidup kita. Saya mungkin akan berbicara di posisi orang yang sedang menjalin hubungan. Tapi buat yang sendiri pun nggak dilarang untuk membaca posting kali ini.

Intinya adalah, seperti judulnya, mengaplikasikan cinta. Saya baru saja mendapat 'nasihat' dari seseorang tentang pernikahan. Membuat komitmen. Semacam itulah. Dan terpikir untuk menuangkannya lewat catatan di blog. Saya memberi tanda kutip karena saya pikir, saya agak defensif ketika mendengarkannya. Sehingga menurut saya itu bukan sepenuhnya nasihat. Karena sedikit seperti melarang saya. Well, saya bukannya menganggap kalau nasihatnya buruk, justru isi nasihatnya harus didengar oleh siapa pun yang jarang menggunakan logika dalam menjalin hubungan.

Orang ini menasihati saya supaya jangan terburu-buru membuat keputusan untuk melangkah lebih jauh dalam menjalin hubungan. Dia melarang saya untuk mengandalkan emosi ketika membuat keputusan karena itulah karakter asli saya sebagai perempuan. Dikhawatirkan saya akan membuat kesalahan yang akan saya sesali seumur hidup. Tidak hanya itu, seakan tersirat kalau pernikahan atau hubungan macam apa pun, seperti persahabatan, keluarga dan lain-lain, nggak cukup kalau hanya didasarkan pada cinta. We are in a real world, di mana yang ada hanya kenyataan dan bukan dongeng yang serba indah. Tentu logika dibuthkan di sini.

Sebuah pernikahan memang tidak melulu didasari oleh cinta. Saya setuju soal itu. Kita juga butuh yang namanya kepercayaan, komunikasi, dan komitmen. Artinya, kita harus yakin dengan pilihan kita. Dan kita mesti siap dengan segala resikonya. Masalahnya, kita juga harus melihat sisi luar dari seseorang. Tidak bisa dipungkiri memang, jika materi juga berperan. Kita butuh pekerjaan tetap yang bagus dan menghasilkan cukup banyak uang. Semata-mata untuk bertahan hidup, sekolah dan berlibur. Tapi tidak pernahkah kita berpikir untuk memasukkan ibadah juga? Well, you can say ibadah itu nggak harus shalat atau misa di gereja. Bentuknya bisa macam-macam. Benar. Tapi pernahkah berpikir atas dasar apa kamu melakukan itu semua?

Saya masih percaya kalau faktor cinta berperan di sini. Sangat wajib mereka ada. Dan saya kurang setuju dengan pendapat kalau cinta nggak akan bisa bikin kita kenyang atau mendapat pendidikan tinggi. Sebenarnya salah.

Yang salah adalah bagaimana kita memahami dan mengaplikasikan cinta itu sendiri. Ada seorang teman yang pernah mengatakan, di tahun pertama pernikahan seseorang, mereka cuma memikirkan sex and how to have fun with it. Hahaha... jangan berpikir saya porno atau ngeres. Kita sama-sama dewasa dan saya pikir wajar kalau bicara topik seperti ini secara blak-blakan. Back to the topic, saya pikir benar juga. Seperti pacaran, di awal-awal kemesraan itu jadi hal yang penting dan menggebu-gebu buat pasangan yang menjalin hubungan. But next, what else? Sebuah pernikahan bukanlah akhir, melainkan awal masalah. Yes, i told you that.

Begini, kamu dan pasanganmu menikah, you both happy at the first time. Bahagianya dalam artian lebih ke emosi, karena sudah menyatu dalam ikatan resmi dan suci -bahasa saya agak lebay- tapi kemudian, pasti ada hal-hal yang nggak bisa kita hindari. Kebutuhan sehari-hari yang harus terpenuhi, perbedaan-perbedaan antara kita dan pasangan, sampai ketika sudah memiliki anak. Kita harus memenuhi kebutuhan mereka juga kan? Masa depan mereka yang harus dipersiapkan sedini mungkin.

Buat para perempuan mungkin gampang saja, tinggal cari laki-laki yang memiliki pekerjaan tetap, posisi bagus di perusahaan, baik dan tampan. Faktor terakhir masih jadi prioritas sih, kadang-kadang. Tapi buat para laki-laki, mereka yang nantinya akan jadi tulang punggung keluarga, nggak bisa diatasi dengan cara mencari perempuan kaya atau punya karier bagus. Mereka harus bekerja keras.

Tapi saya berpikir lagi, apakah semudah itu dalam prakteknya? Absolutely not. Tapi bisa jadi gampang kalo kita punya faktornya. Faktor yang saya maksud tentu saja cinta. Jika kamu cinta sama pacarmu, kamu akan berusaha menikahinya, setelah menikah kamu akan bekerja keras mencari uang supaya dia nggak kelaparan, kamu akan membangun rumah supaya dia nggak kedinginan dan kamu akan berusaha memberikan masa depan yang terbaik buat anak kalian. Maka, nggak salah kalau Rossa punya lagu 'Atas Nama Cinta'. Karena semua tindakan kita pasti didasari oleh cinta. Kecuali tindakan kriminal. Sekarang bukan faktornya yang harus kita pikirkan, tapi bagaimana menerapkannya. Kalau kamu cinta sama pacar, istri, suami, anak, keluarga, atau sahabatmu, apa yang akan kamu lakukan biar mereka bahagia?

Senin, 27 Agustus 2012

Being Hero In Real World

Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata pahlawan? Seseorang yang gagah -kalao dia seorang pria- atau seseorang yang memiliki jasa besar? -itu rata-rata untuk para pejuang. Yang jelas apa pun itu, selalu hal-hal baik yang terlintas ketika mendengar kata pahlawan. Kecuali pahlawan kesiangan. Ada satu persamaan dari semua deskripsi yang kita berikan kepada pahlawan, yaitu mereka adalah orang yang berjiwa besar. Yang mereka dahulukan adalah solusi, tanpa memikirkan ganjaran yang akan mereka dapatkan nanti.

Tapi, dibalik image baik seorang pahlawan ada satu resiko yang mungkin nggak semua orang bisa menerima. Everybody wants to be a hero, but they don't want to forgotten. Sangat jarang ada orang yang mau menjadi hero tapi ingin dilupakan. Rata-rata, sebaik apa pun atau sekecil apa pun jasa seseorang mereka selalu ingin diingat. dan mereka benar. Kita berhak mengingat orang yang sudah menolong kita. Kalo ada yang lupa dengan guru, petugas jalan, tukang bersih-bersih kelas atau bahkan office boy/ girl di kantor, orang itu pasti nggak punya hati.

Ada semacam dilemma yang juga mendominasi perasaan seorang pahlawan. Mereka nggak boleh sombong. Pernah menjumpai orang yang mengungkit-ungkit kebaikannya? Meskipun mereka melakukannya dengan terpaksa karena orang yang ditolong sudah keterlaluan, tapi setidaknya mereka, para pahlawan, harus bisa menahan diri untuk tidak mengungkit segala kebaikan mereka. Biarlah orang lain yang menilai. Meskipun secara pribadi, saya juga akan melakukan hal yang sama kalo tidak ada orang yang mengingat kebaikan saya. Hahahaha.....

Saya sempat ngobrol dengan tunangan saya kemarin malam. Kami kebetulan dalam posisi pahlawan saat ini -semoga saya nggak terlihat atau terdengar sombong- dan kebetulan yang saat ini kami tolong, belum begitu mengenal kami. Just say, kami menggantikan tugas orang lain untuk memberikan apa yang menjadi haknya. Berat, saya akui itu. Tapi ibarat titipan, pertolongan kami ini pun bersifat sementara. Suatu hari, anak yang kami tolong ini akan dibawa lagi sama yang lebih berhak padahl kami sudah jatuh cinta dan sayang dengan anak ini. Tapi kami sadar, she doesn't belong to us. Jadi kami harus siap berpisah sewaktu-waktu. Yang dikhawatirkan tunangan saya, anak ini nanti nggak akan mengingat kami. Dan apa yang sudah kami lakukan bakal sia-sia. Intinya menurut dia, kami akan dilupakan. Jangankan anak itu, keluarganya pun mungkin akan melupakan kami. Tapi saya bilang ke dia. Being a hero is not always to remember. Kita mengenal banyak pahlawan nasional, tapi kita nggak mengenal tentara-tentara yang gugur demi mebela tanah air. Seperti itulah pahlawan di dunia nyata. harus siap banyak berkorban tanpa perlu mengharapkan balas jasa apa pun. Tapi sebagai orang yang ditolong, mungkin lebih bijak kalau kita tetap mengingat jasa mereka. Banyak orang yang memiliki naluri pahlawan, tapi sangat sedikit yang tidak ingin di-pahlawankan.

Minggu, 29 Juli 2012

Memories

Aku ingat ekspresi saat kamu mengatakannya
Aku ingat kalimat yang kamu ucapkan bersama ekspresi itu
Aku ingat perasaan saat tangan kita kali pertama bergandengan
Aku ingat cara kamu melihatku
Aku ingat eratnya pelukanmu
Aku ingat jalan-jalan yang kita lalui berdua
Aku ingat tempat-tempat yang kita datangi
Aku ingat makanan yang kita habiskan berdua
Aku ingat cokelat yang kita bagi berdua
Aku ingat lagu yang kita nyanyikan berdua
Aku ingat apa pun tentang kita
Aku ingin terus mengingatnya sampai Tuhan membuatku lupa
Tapi jika diizinkan, aku ingin mengingat sampai aku lupa kalo aku bukan lagi manusia

Sabtu, 28 Juli 2012

Angel (Bab I part 2)

Sambungannya Angel (happy reading)




Jeep itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana bercat coklat. Dewi menoleh ke arah pemuda yang tadi menjemputnya.

"Makasih ya Dhan, udah jemput." kata Dewi.
"Biasa lah. Kayak aku ini siapa kamu aja."
"Mau mampir?"
"Nggak usah. Udah malem ini. Kamu nanti langsung istirahat ya."
"Oh.. ya udah, aku masuk dulu ya."
"Eh, tunggu Wi." Dhani menahan Dewi yang akan membuka pintu mobil dan menoleh ke arah Dhani.
"Kenapa Dhan?" tanya Dewi.

Dhani tidak menjawab. Ia memegang erat kedua tangan Dewi dan perlahan mendekatkan wajahnya. Nafas Dewi tertahan tidak siap.

"Ya ampun, udah jam 10. Kamu harus pulang, nanti Mama nyariin. Sekali lagi makasih udah dianter ya, Dhan." Dewi menarik tangannya dan terburu keluar dari jeep Dhani.
"Nanti aku telepon." kata Dhani singkat sebelum menyalakan mesin mobilnya. Dewi mengangguk sambil tersenyum.
"Hati-hati ya." katanya sebelum Dhani benar-benar pergi.

Dewi menghembuskan nafas. Maaf ya, Dhan. Gumamnya dalam hati lalu membuka pagar rumah. Sudah 8 bulan mereka jalan. Kadang-kadang Dewi masih belum percaya ia dan Dhani pacaran. Ia seorang waitress di Fishbone, sedangkan Dhani, mahasiswa tingkat akhir sebuah universitas di Malang yang kebetulan adalah putera tunggal pemilik jaringan resto tempatnya bekerja. Ia sempat bertanya-tanya apakah Tuhan nggak salah membuat Dhani menembaknya tepat awal tahun ini? Dewi jadi merasa seperti cinderella abad 21 dengan cerita yang absurd. Se-absurd perkenalannya dengan Dhani.

Ia ingat bagaimana dulu mengira Dhani sebagai karyawan baru ketika dia kali pertama datang ke perayaan 5 tahun Fishbone cabang Kediri. Itu gara-gara informasi teman seprofesi-nya, Lana, yang mengatakan kalau mereka akan kedatangan trainee baru untuk menggantikan Siska yang mengundurkan diri. Ditambah lagi, Rosalin, manajer Fishbone yang kebetulan akrab dengan Dewi memintanya untuk men-training si anak baru. Singkat cerita, nggak salah kalo informasi absurd dari rekan-rekannya itu membawa Dewi ke perkenalan yang absurd juga dengan Dhani. Entah kenapa ia suka tersenyum dan malu sendiri mengenangnya.

Tapi, se-absurd perkenalan mereka, hubungan yang baru jalan 8 bulan ini pun dirasa nggak jelas oleh Dewi. Entah kenapa, ada sebagian kecil hatinya yang merasa kalo dia nggak seharusnya buat Dhani. Itu sebabnya gaya pacaran mereka terkesan seperti main-main dan nggak romantis menurut adiknya. Sampai saat ini, bisa dihitung dengan jari durasi kencan mereka. Paling cuma ke coffee shop langganan Dhani di Kediri Mall, itu pun nggak sampe berjam-jam karena Dewi selalu beralasan harus datang on time ke Fishbone atau belanja sesuatu untuk ibunya.

Perasaan itu juga dirasakan Dewi saat Dhani mengantarnya tadi. 8 bulan, dan mereka at least, belum pernah kissing. Dewi tau Dhani sangat menginginkan itu. Tapi itu tadi, sebagian kecil hatinya yang selalu kontra dengan Dhani menolaknya. Tapi yang bisa dilakukan Dewi hanya menggumamkan maaf saat Dhani sudah nggak ada di depannya.

"Gagal lagi?" celetuk Diana, adiknya, saat Dewi memasuki ruang tamu. Di tangannya ada novel Breaking Dawn yang terbuka.
"Belum tidur kamu?" tanya Dewi.
"Besok hari sabtu, kakakku sayang. So, hari ini gagal lagi?"
"Oh iya. Kuliah kamu libur sabtu sama minggu ya.." kata Dewi.
"Jawab pertanyaanku dong..." kata Diana jengkel.
"Sejujurnya aku nggak ngerti kamu nanya apa." kata Dewi datar. Diana berdecak sebal. Kakaknya ini bego atau lemot sih?
"Kamu, sama Dhani, 8 bulan. Dan nggak ada perkembangan apa-apa." Dewi belum bereaksi atas penjelasan Diana yang mirip men-dikte soal matematika. "your first kiss." kata Diana lugas.
"Ah... itu. Penting banget ya?"
"Ya iyalah, mbak. Kamu sama Dhani tu nggak kayak orang pacaran. Aku memang nggak sama kalian kalo lagi nge-date, tapi aku tau kalo kamu masih jaga jarak sama Dhani. Iya kan?"
"Hmmhh... gimana ya, Di? Anggap aja aku belum siap buat itu."
"Hah?! Alesan kamu absurd banget tau, mbak. Mana ada orang belum siap buat hal-hal yang lebih, just say, intimate padahal udah pacaran. Gimana kalo nanti kamu married? Mau nunggu sampe kamu siap juga buat ML?"
"Hush! Ngomongmu itu, lho." sahut Dewi.
"Kita udah gedhe mbak. Nggak usah ngerasa tabu buat ngomongin hal-hal kayak gini lah."
"Terserah anggapan kamu kayak apa. Tapi aku akan ngelakuin itu kalo aku udah siap. Aku nggak tau gimana perasaan Dhani, tapi aku harap dia paham." pungkas Dewi sebelum berlalu ke kamarnya.
Diana menghela napas lalu kembali menekuni kisah cinta Edward-Bella yang sejenak ia tinggalkan.

(to be continued...)

Rabu, 25 Juli 2012

Regret

Pernah merasa keterlambatan yang benar-benar parah? Tidak harus datan terlambat ke sekolah, kampus, atau kantor. Atau terlambat janjian di suatu tempat. Kita bisa saja terlambat sadar. Sadar kalau kita salah, sadar kalau kita benar, atau sadar kalau kita kurang sabar.

Laki-laki diciptakan dengan porsi otak lebih besar, sedangkan perempuan diciptakan dengan porsi hati yang cukup besar. Terkadang kita nggak bisa memahami satu sama lain ketika berselisih atau menghadapi persoalan yang sama. Secara teoritis, mungkin gampang saja kita mencari solusi. Tapi pada prakteknya, kita cuma mendapat keterlambatan. Pada akhirnya, kita nggak mendapat suatu kepuasan, melainkan sanksi yang bahkan lebih tidak siap kita hadapi.

Pernah merasa kalau kesabaran kita sudah habis? Sebenarnya nggak benar-benar habis, hanya perlu di-recharge. Sayangnya kita nggak tau cara me-recharge-nya.

Kamis, 12 Juli 2012

Bingung

Pernah merasa di posisi yang nggak jelas? Misalnya saja, kita terbiasa dengan segala macam keteraturan atau terbiasa dengan diri kita sendiri tapi tiba-tiba merasa menjadi orang asing di tempat yang udah kita kenal sejak kita masih ingusan. Itulah yang disebut bingung, perasaan nggak jelas ketika kita merasa di posisi nggak jelas juga. Kita bingung apa yang harus dilakukan, mau ke mana, bahkan bingung dengan perasaan kita.

Akhir-akhir ini saya ngerasa bingung dan nggak beres. Ada yang salah dengan saya. Atau ada yang salah dengan diri saya. Saya selalu merasa kegiatan sehari-hari yang saya lakukan nggak ada gunanya. Cuma main-main, bukan apa yang saya inginkan, dan terlalu disetir. Saya nggak ngerti kenapa jadi begini? Rasanya kayak kehilangan jati diri, atau malah bingung dengan jati diri saya sebenarnya. Saya ingin sebentar saja berhenti dan mencari apa yang hilang dari saya. Tapi kesempatan itu belum datang. Dan saya nggak punya hak untuk berhenti. Saya harus terus berjalan biar pun kaki saya udah capek dan nyeri.

Jumat, 06 Juli 2012

When We Down

Lagi nyoba modem baru nih... -pamer... pamer...- hehehe... Jadi saya manfaatkan aja sekalian buat update blog saya yang hampir tak tersentuh selama bulan juni. Masalahnya nih, saya mesti berjuang ekstra buat nyambung ke jaringan internet -duh... bahasanya...- maklum lah, sinyalnya up and down, tapi lebih banyak down-nya. hehehe. Bicara soal down, saya akhir-akhir ini ngerasa down banget. Dikarenakan banyak hal. Mulai dari urusan pekerjaan sampai pribadi. Atau lebih tepatnya, yang satu kena imbas masalah yang lain. jeleknya saya, kalau udah merasa down, alias jatuh banget, kayak orang depresi -atau emang depresi kali ya?- Don't what to do, where to go, what to say, whose to tell. Serba bingung. Saya memang introvert, but I do need somebody to hugs and a shoulder to cry on. Tapi masalahnya, saya nggak bisa pilih sembarang orang. i am too picky. Susah buat saya percaya sama orang setelah mengalami masalah dengan kepercayaan. Tapi akhirnya saya menemukan itu pada tunangan saya -Love u so much, bebek.... *hugs*- I can tell him anything without afraid everybody will know it. Dia benar2 seorang good secret keeper. Saya bebas bercerita apa pun meski nggak senyaman ketika memeluk Ibu saya. Percaya deh, meskipun kita sudah menemukan seseorang untuk sharing. Entah itu sahabat, pacar, suami, istri atau boneka, tetap nggak ada yang bisa menggantikan pelukan ibu. The best solution whole the world. Saya memang bebas bercerita apa saja dan percaya sama tunangan saya. Tapi saya toh tetap 'anak' yang butuh ketek ibunya. hehehe, istilah saya kasar banget ya, kayaknya. No, I mean, we do need them. A trusty one and parents. they are the best.

Jumat, 22 Juni 2012

Physical & Judging

Seberapa besar pengaruh fisik untuk kita? Begitu mendominasi atau kita menjadikan fisik sebagai pelengkap penilaian kita? Sayangnya, faktor kedua hanya 1 % benar-benar diterapkan oleh semua orang di dunia ini. Orang begitu gampang memberlakukan judging dari sudut pandang mereka pribadi.

Contoh kecil, apa yang ada di pikiran kita saat melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang sedang jalan bareng, bergandengan dan, tertawa lepas? Satu, mereka pacaran. Dua, mereka saudara. Tiga, mereka sahabat. Dari ketiga asumsi itu, saya yakin kita cenderung memilih yang pertama. Because they looks so close each other. Tapi siapa yang sangka kalau mereka kebetulan dua bersaudara yang sangat akrab? Atau sahabat yang saking akrabnya jadi kayak saudara. Sehingga nggak sungkan untuk menunjukkan interaksi fisik seperti menggandeng tangan atau memeluk.

Masalahnya, budaya di masyarakat kita cenderung menilai seseorang berdasarkan fisik. From what they wear, who are they, and where they live. Dari fisik, mereka beranjak ke hal-hal yang lebih kompleks seperti sifat, attitude, personal life. Sejujurnya itu semua sangat mengganggu. Sangat gampang buat kita menilai seseorang dengan hanya melihat apa yang mereka lakukan tanpa tahu tujuan atau motivasi mereka. Kita merasa sudah sangat ahli sebagai orang dewasa, ketika dengan sekali lihat sudah cukup bagi kita untuk membuat kesimpulan. Tapi kita lupa kalau kesimpulan nggak selalu dibutuhkan dalam setiap perjalanan yang disebut mengenal. Kita cenderung memposisikan diri sebagai subjek tanpa pernah memahami posisi objek kita. Yang bikin miris, kita mewariskan kebudayaan easy judging ini pada generasi selanjutnya. Kita sebagai hakim nggak merasa rugi apa-apa dengan membuat penilaian, tapi kita sudah merampas kesempatan orang lain ketika membuat penilaian yang salah.

Sedikit curhat, nggak jarang saya merasa dirugikan hanya gara-gara hal kecil yang menurut saya masih wajar tapi dianggap berlebihan oleh orang lain. Saya juga pernah mendengar manajer saya menjelaskan duduk masalah sebenarnya ketika beliau menyelesaikan persoalan dengan caranya sendiri tapi dinilai berbeda oleh orang-orang. Susah ya, menjadi objek yang melulu disalahkan. Tapi menyenangkan ketika menjadi hakim and judging people.

Rabu, 25 April 2012

Bangganya Menjadi Perempuan


Apa jadinya dunia ini tanpa perempuan? Suram? Membosankan? Kalau masih kurang, saya bisa menambahkan kata monoton, kaku, massif. Yah, berterima kasihlah pada perempuan. Dan bersyukurlah jika dilahirkan sebagai perempuan.

Karena berkat perempuan, keturunan Nabi Adam terus bertambah sampai sekarang, selalu ada hidangan lezat tersaji di meja, selalu ada baju rapi dan sepatu mengkilat, selalu ada ruangan rapi. Berkat perempuan, para desainer punya cara untuk memamerkan koleksi mereka, berlian dan emas yang terkandung dalam bumi jadi ada gunanya. Berkat perempuan, para pria punya seseorang untuk dibanggakan dan diperjuangkan, punya alasan untuk berangkat lebih awal ke kantor, mengirim pesan singkat dan menelepon, atau membeli sebuket mawar. Berkat perempuan, para musisi selalu punya inspirasi untuk membuat lagu, Leonardo Da Vinci punya lukisan Mona Lisa. Berkat perempuan, negara-negara memiliki pemimpin, kemerdekaan negeri ini bisa kita raih.

Dan yang terpenting, berkat perempuan, saya bisa ikut kompetisi ini. I’m a woman, and proud of it. Cita-cita saya tersalurkan, suara saya didengar. Menjadi perempuan itu membanggakan dan menyenangkan. Semata-mata bukan karena mereka selalu mendapat diskon atau identik dengan kegiatan domestic rumah tangga.  Tuhan menciptakan mereka –termasik saya- sebagai  perantara kehidupan dan memeliharanya.  Perempuan adalah perhiasan dunia, permata syurga, tiang Negara, ibu bumi, inspirasi karya seni. 

Selasa, 24 April 2012

STORY FROM

Orang ketiga
Kimi menatap ponsel di tangannya kesal. Dari tadi ditelepon nggak bisa-bisa! Pasti sama cewek itu lagi deh. Gerutunya dalam hati.
“Abdi nggak bisa ditelepon lagi Kim?” Tanya Dian, teman sekantornya.
“Iya. Huh, pasti dia teleponan sama cewek itu lagi.” Sungut Kimi.
“Cewek yang mana?”
“Mantan pacarnya. Mmm… mantan pacar bukan ya?”
“Tau… lha kamu yang jadi pacarnya gimana?” Dian balik bertanya sebelum duduk di depan meja Kimi.
“Ya… Abdi bilang sih mereka udah putus. Tapi ceweknya ini nggak mau diputusin.”
“Trus si Abdi ini selingkuh sama mantan pacarnya yang nggak mau diputusin itu?”
“Nggak bisa dibilang gitu juga. Abdi selalu bilang apa pun yang dia obrolin sama cewek itu ke aku kok.”
“Kok aku nggak paham ya? Gimana sih?”

Kimi menghela napas. Apa yang dialaminya memang termasuk langka dalam sejarah hubungan asmara manusia, termasuk dirinya. Ia juga nggak nyangka bakal mengalami ini. Tadinya yang Kimi inginkan hanya punya kekasih yang sesuai keinginannya, menjalin hubungan yang baik dan menikah. Cita-cita yang sederhana. Sampai ia tahu kalau sebenarnya sang pacar masih menjalin komunikasi dengan perempuan yang pernah menjadi pacarnya. Setidaknya begitulah pengakuan Abdi. Abdi dan perempuan yang belakangan ia tahu bernama Ayu itu masih saling kontak sebagai kekasih. Itu cukup menyakitkan buat Kimi. Ia merasa dikhianati oleh orang yang ia sayangi. Tapi menurut penjelasan Abdi, ia terpaksa menuruti keinginan Ayu untuk nggak memutuskannya karena masih punya tanggungan ke Ayu.
“Jadi gitu Di, aku sama Abdi pacaran. Tapi cewek yang namanya Ayu ini juga ‘pacaran’ sama Abdi.”
“Dan kamu mau diduain gitu aja?!”
“Aku nggak diduain.”
“Haduh Kim, kamu tu stupid atau bego sih? Istilahnya apa kalo bukan diduain?! Selingkuh? Diliat dari sisi mana pun, si Abdi itu selingkuh sama Ayu. Kok ya kamu masih mau-maunya jalan sama dia?!” omel Dian.
“Selingkuh itu kalau Abdi diam-diam menjalin hubungan sama Ayu. Ini dia masih ngasi tau aku semua sms dia sama Ayu kok. Dia juga selalu bilang kalau abis ditelepon sama Ayu dan isi obrolan mereka.”
“Kimi, denger ya. Kamu itu DIDUAIN sama Abdi. Jelas?! Bisa aja kan masalah tanggungan itu Cuma alasan dia biar leluasa untuk komunikasi sama pacarnya yang lain. Trus, si Ayu ini tau kamu nggak?” Kimi diam sejenak.
“Nggak… Abdi bilang kalau Ayu tahu aku pacaran sama dia, Ayu bakal bunuh diri dan nulis surat kalau penyebab bunuh dirinya itu Abdi yang udah khianatin dia.”
“Hahahaha…” Kimi kaget ketika Dian tiba-tiba tertawa setelah mendengar penjelasannya. “emang kata ini sinetron apa?! Pake acara bunuh diri segala! Si Ayu ini lebay binti alay banget ya? Berarti Cuma satu kesimpulannya Kim. Kamu itu selingkuhan Abdi.”
“Nggak lah.” Sahut Kimi.
“Lha buktinya, kamu tau soal Ayu tapi Ayu nggak tau soal kamu. Berarti kamu yang jadi selingkuhan kan?”
“Kalo aku selingkuhan Abdi, dia nggak mungkin dong ngenalin aku keluarganya. Bahkan aku bisa sampai akrab banget sama adiknya.”
Dian terdiam. Iya juga sih. Yang namanya selingkuhan itu biasanya nggak dikenalin sama keluarga besar. Kalo ada yang masih nekad, sungguh terlalu…. –jiahhh, Rhoma Irama!-
“Trus, solusi kamu sama Abdi gimana?” Tanya Dian.
“Ya… aku pernah sih nawarin bantuan untuk menyelesaikan tanggungannya. Tapi Abdi nolak, dia ngak pengen aku ikut keseret dalam masalah dia. Jadi sementara ini aku masih biarin Abdi sama Ayu tetap komunikasi, sampai Abdi lepas tanggungannya.”
“Sampai kapan?” sahut Dian. Kimi mengangkat bahu, sementara Dian menghela napas.
“Setiap langkah yang kita ambil mengandung resiko Kim. Kalo kamu pilih diemin Abdi nyelesaiin masalah dengan caranya sendiri, kamu bakal sakit tiap hari. Nggak rela kan kalo liat cowok kita saling kirim pesan singkat romantic sama orang lain?! Tapi kalo kamu milih nyelesaiin masalah ini bareng-bareng sama Abdi, kalian bakal nyakitin orang lain dan ada kemungkinan masalah kamu tambah rumit.” Jelas Dian panjang.
Mereka berdua terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Terutama Kimi, karena ini masalahnya.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan dering ponsel Kimi yang nyaring.
“Halo?”
“Sayang, kamu tadi telepon ya? Maaf ya, nggak aku angkat. Tadi masih…”
“Nggak apa-apa Mas.” Potong Kimi. Senyum kecil mengembang di bibirnya. “aku ngerti.”

Jumat, 02 Maret 2012

Hari ini

Saya agak terkejut ketika melihat pengikut blog saya ada 4 orang. Well, bagaimana pun terima kasih. Pada dasarnya saya bukan orang yang harus setiap detik update di status jejaring sosial. Tapi untuk blog kan tidak harus setiap detik ya. Beberapa hari sekali atau bahkan beberapa bulan sekali juga nggak ada yang melarang. Tadinya saya berencana membuat akun baru di blogdetik.com bahkan sudah membuat akunnya. Tapi, saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya akan kembali pada blog ini deh. Dan untuk yang di blogdetik itu, saya nggak tau bagaimana menutupnya. hehehehe

Minggu, 08 Januari 2012

Our Promises

It's not about confusion
It's just reminding about our old deal

We promised to stay together
Eat the same menu
Drink the same water
Breathe with the same air
Hand in hand when walking
Running on the same speed
Crying
Laughing
Honest each other
Complete each other

If I can write all of our deal, I will
But I prefer to keep it in my mind and my heart
Keep what we've made in other way