Jumat, 14 Oktober 2011

Tentang Hidup

Apa yang membuat kalian bertanya sampai saat ini? Saat Tuhan memberikan kesepatan untuk kalian menghirup udara yang penuh polusi sampai saat ini? Saya nggak bisa menebak satu-persatu. Jawaban itu, ada dalam hati kalian dan saya masing-masing. Dari mulai kita bisa berpikir, sampai sekarang. Pasti banyak pertanyaan muncul yang berkaitan dengan kehidupan dan pernak-perniknya. Tapi pertanyaan yang pasti selalu ditanyakan setiap orang adalah, kenapa hidup ini begitu sulit? Saya juga bertanya seperti itu. Kenapa hidup ini sulit buat saya? Semakin lama, semakin sulit. Untuk yang pikirannya pendek, mungkin lebih baik tidak usah hidup daripada mengalami kesulitan.
Tapi ketika suatu malam sepulang kerja -atau main?- dan merasa sedikit capek di kamar. Iseng-iseng saya memainkan beberapa permainan favorit di laptop -thanks buat pacar tersayang yang sudah meng-install beberapa games di laptop saya :)
Ketika permainan saya sampai pada level yang cukup tinggi, saya beberapa kali mengalami game over dan harus mengulang. Bahkan sampai waktu menunjukkan pukul 24.00, yang berarti sudah hampir 4 jam main, saya belum berhasil juga. Kesel sih, kurang sedikit lagi saya bisa menyelesaikan game itu. Tapi mau nggak mau saya harus tidur, besok masih harus datang ke kantor baru saya.
Sebelum tidur, saya sempat berpikir tentang game saya. Bukan tentang strategi bagaimana saya harus menyelesaikan tanpa game over duluan. Tapi tentang hidup dan game. Sebenernya, nggak ada hubungannya antara game dengan hidup. Tapi kalo dipikir-pikir, hidup itu seperti main game. semakin tinggi level yang kita mainkan, semakin sulit misinya. Sama kayak hidup. Semakin matang kehidupan yang kita jalani, semakin sulit ujian yang Tuhan berikan untuk kita. Tapi sayangnya, dalam dunia nyata kita nggak memiliki cadangan nyawa seperti dalam game. Kalo kita kalah, bisa mengulang dari awal dengan tanpa cacat sedikit pun. Enak ya, kalo bisa kayak gitu. Setiap kita melakukan kesalahan atau mengalami musibah, kita putar waktu dan mengulang dari awal. Tapi kalo dipikir-pikir sebenernya kita juga punya 'nyawa cadangan' itu. Ya nggak bener-bener berfungsi seperti dalam game sih. Ibaratkan saja 'nyawa cadangan' itu seperti bagian lain dalam kehidupan kita. Hal yang pasti selalu ada ketika kita melakukan kesalahan atau mengalami musibah.
Kehidupan itu seperti game. Semakin tinggi level-nya, semakin sulit misinya. Semakin lama kita hidup, semakin berat ujian yang Tuhan berikan. Kita memang tidak punya 'nyawa cadangan'. Kalo kita memutuskan untuk 'game over' dari kehidupan, kita tidak bisa mengulang dari awal untuk memperbaiki semuanya. Kalo kita melakukan kesalahan, sulit buat kita mengulang lagi dan menghindari kesalahan yang sama. Kalo kita mendapat musibah, kita nggak bisa melawan dengan 'senjata'. 'nyawa cadangan' kita nggak berbentuk. Tapi dia memang ada ketika kita menjalani ujian dari Tuhan, melakukan kesalahan, atau mendapat musibah.
Sampai sini sudah ngerti? Yah, kalo ada yang nggak ngerti dari apa yang saya ketik sih, saya maklum. Ini kan hasil dari pemikiran saya sendiri. Dari pengamatan saya.
Yang jelas, 'nyawa cadangan' itu memang ada. Tapi bukan nyawa yang bisa bikin orang mati bangkit dari kubur. Hm... coba diobrolin sama teman, saudara, keluarga, atau pasangan deh. Pasti seru ngbrolin 'nyawa cadangan' ini. Mungkin bahkan kita bisa menemukan jawaban yang berbeda-beda dari setiap orang yang kita tanya. Kembali ke kehidupan yang seperti game. Yang jelas, kehidupan itu lebih menarik daripada game. Lebih kompleks. nggak monoton. Kadang warna-warni, nggak jarang juga yang hitam-putih atau cuma hitam.

Selasa, 11 Oktober 2011

A letter to my dear

Sayang,
Aku tahu ini mungkin terdengar berlebihan. Tapi aku cuma ingin kamu tahu apa yang aku rasakan.

Sayang,
Kita baru saja bertengkar. Karena suatu hal yang berbeda antara kamu dan aku.
Bagaimanapun, itu semua salahku. Aku akui itu.
Aku mungkin nggak mendengarkan kamu sebagai seseorang yang butuh teman untuk bicara atau berbagi masalah.
Aku cuma mementingkan kekhawatiran dan ketakutanku sendiri.

Ketika malam itu kamu mengungkapkan kekecewaanmu, aku akui memang aku yang salah.
Tapi aku menangis.
Bukan karena menghadapi kamu yang marah.
Semuanya lebih karena aku menyesal nggak mengerti apa yang kamu inginkan.
Aku belum bisa menemani kamu di saat-saat kamu butuh teman untuk bicara.
Saat kamu lagi ada masalah.
Saat kamu butuh seseorang untuk membuat kamu tetap semangat.
Saat kamu bahkan merasa sangat lemah sampai butuh seseorang untuk membantu kamu tetap tegar.

Aku memang belum bisa menjadi seperti itu.
Apalagi dengan jarak kita yang agak berjauhan sekarang.
Semakin sulit buat aku dan kamu untuk bicara dan berbagi suka duka menjalani kehidupan kita yang baru mulai.

Kemudian aku minta maaf. Meskipun oke, terlambat.
Aku bukannya nggak mau minta maaf ke kamu. Bagiku, ketika meminta maaf. Berarti kita benar-benar melupakan kesalahan masing-masing dan kembali seperti semula.
Aku takut jika minta maaf, malah kamu anggap suatu alasan untuk menghindari kesalahan.
Biasanya itu kesan yang aku dapat dari orang lain.

Jadi, kalau memang kamu sudah memaafkan aku, ya sudah.
Jadilah kamu seseorang yang sebelum kamu marah sama aku.
Aku nggak akan mengulangi kesalahan yang sama, jika itu yang kamu mau.
Aku selalu ingin buat kamu bahagia, tapi mungkin caranya yang salah.
Aku melakukannya dengan caraku. Bukan dengan cara kita.
Kali waktu, aku akan mendengarkan kamu bicara.
Aku sediakan bahuku jika kamu ingin menangis -itu kalau kamu bisa menangis-
Aku ikut jika kamu butuh teman untuk jalan.
Aku berusaha untuk nggak mengecewakan kamu lagi.

Kalau pada akhirnya ada yang menganggap aku sudah dibutakan sama kamu,
Aku akan jawab:
Aku nggak buta. Itu semua karena aku butuh kamu dan kamu butuh aku.

Love,

Me