Kamis, 31 Juli 2014

Angel (Bab I Part 3)

Udah baca Angel (Bab I Part 2) kan? Silahkan baca lanjutannya... :)

"Meja 14!" seru Layla dari balik counter. Dewi segera mengambil nampan berisi dua porsi gurami bakar yang masih hangat dan mengantarkannya ke meja yang dimaksud. Risa menyusul di belakangnya dengan jus tomat dan teh hijau pesanan meja yang sama.

Fishbone di hari libur, hari sibuk untuk semua staff-nya. Entah kenapa resto ini jadi tujuan favorit hampir semua orang. Sepertinya harga yang lumayan menguras kantong tidak menjadi masalah. Yah, setidaknya ini menjadi alasan senyum lebar di wajah Rosalin yang tidak luntur sejak jam 9 pagi tadi. Sama seperti Dewi yang sudah mulai capek tapi belum memiliki kesempatan untuk istirahat. Semua orang tidak bisa istirahat. Begitu satu meja kosong, langsung terisi oleh pengunjung baru. Dewi melirik jam tangannya yang sudah ganti baterai. Jam 1 siang. Berarti dia sudah wara-wiri selama 4 jam. Hebat, untung saja nggak pingsan. Tapi kakinya mulai pegal. Dia bertanya-tanya apa Rosalin nggak merasa lelah seperti dirinya kalau terus bekerja selama 4 jam? Tapi mungkin nggak, mengingat manajer-nya itu hanya duduk sepanjang waktu di ruangannya yang sejuk dengan berbagai gadget yang terus terkoneksi dengan klien dan bukan di dapur bergelut dengan bau amis sea food.

Seruan staff dapur yang menyatu dengan riuh pengunjung dan denting alat makan lama kelamaan membuat Dewi pusing. Dia mendorong troley yang penuh peralatan makan kotor ke dapur.
"Pak, saya minta ijin istirahat bentar ya." katanya pada Rafi, lelaki perusia 45 tahun yang menjadi supervisor bagian dapur.
"Kamu sakit Dew?" tanya Rafi.
"Nggak pak. Cuma capek. Dan lagi, ini sudah lewat jam makan siang. Apa nggak sebaiknya sebagian dari kami istirahat?" usul Dewi. Rafi melihat ke ruang restaurant. Para waiters masih sibuk melayani para pengunjung yang seolah tidak habis dengan wajah seramah mungkin. Tapi siapa pun tahu kalau mereka sudah kelelahan.
"Oke, kamu istirahat dulu. Saya akan minta sebagian untuk makan siang juga." jawab Rafi.
Dewi mengucapkan terima kasih dengan wajah lega sebelum melepas sepatunya dan berjalan ke ruang ganti untuk istirahat. Tiba-tiba Ragil, salah seorang staff dapur memanggilnya.
"Ya?" jawab Dewi.
"Gua tadi bikin udang saus Inggris kebanyakan. Daripada ketahuan Pak Braham trus dimarahin, nih lo makan deh."
"Wah, makasih ya." kata Dewi sambil menerima lunch box yang diberikan Ragil.
Sambil  menikmati udang, Dewi membuka handphone yang sejak tadi nggak disentuhnya. Hm, tumben dia belum sms? Batin Dewi.Sejak kejadian di mobil itu, Dewi memang agak menjaga jarak dengan Dhani. Ia ingin pacarnya itu mengerti bahwa hal-hal intimate bukanlah yang ia kejar dari hubungan mereka. Tapi…. Apa ya? Dewi tercenung. Garpunya berhenti di udara. Ya, apa yang ia cari dari sosok Dhani? Apakah Dhani sudah memenuhi kriteria suami idamannya? Mengapa ia menerima Dhani sebagai pacar? Bukankah yang ia cari seharusnya pendamping hidup di usianya yang sekarang?

“Hei, ngelamun aja?” Risa menepuk pundaknya pelan. Dewi hanya tersenyum kecil. “Dhani jarang ke sini Dew?”
“Katanya lagi banyak tugas. Maklumlah, udah mau skripsi.” Risa tertawa mendengar jawaban Dewi.
“Aku juga pernah kuliah Dew, ya meskipun nggak sampe jadi sarjana. Tapi sesibuk-sibuknya orang, apalagi mau skripsi. Dia pasti nyempetin lah kalo buat pacar. Kamu yakin dia nggak punya cewek lain?”
“Apa sih?” sahut Dewi.
“Ih, serius ini. Biasanya cowok kalo udah mulai jarang hubungi kita atau datengin kita. Itu artinya dia bosen atau yang lebih parah, punya cewek lain.” Ucap Risa dengan wajah serius lalu sibuk dengan makan siangnya. Sementara Dewi tercenung. Apa iya? Ah, tapi Dhani bukan tipe laki-laki seperti itu. Atau mungkin hanya setahu Dewi ia tidak seperti itu. Kalau mereka lagi nggak berdua kan siapa yang tahu?
***
Nanti aku ke Fish Bone jam 1.

Itu saja yang dikatakan Dhani dalam SMS yang diterima Dewi pagi itu. Setelah menghilang tanpa kabar selama dua minggu –sampai Dewi hampir lupa kalau ia punya pacar- akhirnya Dhani muncul kembali. Lewat SMS. Dewi tersenyum kecut. Yah, setidaknya dia masih ingat dengan pacarnya.
Hari ini Risa nggak masuk. Dia harus mengunjungi Mamanya di Blitar. Dewi jadi agak kesepian, karena dari semua waitress di Fish Bone, dia paling akrab dengan Risa. Huh, kali lain aku akan coba ngobrol dengan yang lain. Batin Dewi bersamaan dengan denting bel pintu restaurant. Seorang perempuan muda berusia awal 20-an melangkah masuk. Dewi menebak dia pasti seorang pengeemar drama Korea. Dari mulai baju, sepatu, tas, bahkan ekspresi wajahnya saat mencari meja sangat negeri ginseng. Dewi lalu mendatangi perempuan itu dengan membawa daftar menu saat si perempuan ‘Korea’ itu menempati meja di dekat kasir.
“Selamat siang. Selamat datang di Fish Bone. Mau pesan apa mbak?” kata Dewi dengan ramah. Perempuan itu menerima buku menu yang ia sodorkan sambil tersenyum.
“Ehm… saya baru kali ini ke sini mbak. Yang special apa ya?” Tanya perempuan ‘Korea’ itu.
“ Oh, banyak mbak.”
“Jangan panggil mbak lah.” Sahut perempuan itu. “panggil aja Rika.”
“Baik mbak. Eh, maksud saya Rika.” Mereka berdua tertawa kecil, lalu Dewi melanjutkan, “kita ada Dori steak with oriental sauce. Trus juga ada Grilled Lobster with Brown Sauce and Potato. Nah, yang ini baru dari kami mbak, eh, Rik, Traditional Bandeng Steak.” Tutup Dewi.
“Wah, mbak cocok lho jadi marketing. Kenapa justru jadi waitress?” komentar Rika. Dewi tertawa kecil.
“Takdir kali ya, Rik. Jadi mau pesan yang mana?”
Rika mebolak-balik buku menu di tangannya. “Sebenernya saya nggak terlalu laper. Tapi Dori Steak ini kayaknya enak. Saya pesen ya. Sama lemon squash nggak pake gula.” Katanya.
“Baik. Silahkan ditunggu. Nanti kalau perlu bantuan bisa dengan saya, Dewi. Atau rekan yang lain.”
Dewi menggantungkan menu di counter lalu membunyikan bel bersamaan dengan bel pintu berbunyi pelan. Ah, tumben hari ini rame? Dewi tersenyum kecil dan bersiap menyambut tamu selanjutnya. Senyumnya makin lebar saat ia mengetahui siapa si tamu. Dhani. Laki-laki yang sulit dihubunginya dan membuatnya khawatir akhir-akhir ini.
“Dhani…” Dewi menghambur memeluk kekasihnya. Dhani sedikit terkejut namun balas memeluk Dewi .
“Kamu ke mana aja sih? Aku udah kirim SMS berkali-kali, telepon, WA, semua nggak dijawab.” Tanya Dewi dengan nada kesal campur rindu.
“Maaf Dew, kan aku udah bilang kalo lagi ngerjakan skripsi.” Jawab Dhani. Dewi mengernyit kecil. Ada yang aneh dengan nada bicaranya. Tapi apa ya? “oh, ya. Aku mau ngomong sesuatu. Kamu lagi sibuk?”
“Nggak terlalu. Mau ngomong apa?”
Dani tidak langsung menjawab. Ia melihat sekeliling. Lalu menarik Dewi ke balik dekorasi kaca pembatas ruang. Ia menghela napas sejenak diikuti tatap mata penasaran Dewi.
“Dew, sebelumnya aku minta maaf. Aku mengatakan ini bukan denga maksud apa-apa. Tapi ini demi kebaikan kita, terutama kamu.” Dhani berhenti lagi, “aku kayaknya… nggak bisa lanjut sama kamu.” Dewi terbelalak. Ia yakin telinganya salah dengar.
“Tolong kamu jangan marah Dew. Aku masih sayang kamu. Tapi aku nggak mau terus-terusan bikin kamu nggak nyaman…”
“Nggak nyaman?” putus Dewi. “kapan aku nggak nyaman sama kamu?”
“Aku… itu… hh…, kamu memang nggak bilang kalo nggak nyaman sama aku. Tapi dari gerak-gerik kamu selama kita jalan. Kayaknya kamu menjaga jarak sama aku.” Dewi mengernyitkan keningnya lagi. Kali ini lebih dalam. Apa itu salah?
“Aku ngerti kita maasih pacaran. Tapi gimana aku bisa tau kamu kalo kamu jaga jarak? Jadi maaf Dew, mungkin kita sampe di sini aja. Lagipula aku sekarang menghadapi skripsi. Aku nggak mau ngecewain Papa. Jadi, aku butuh waktu buat sendiri dan konsentrasi sama pendidikanku.” Jelas dhani panjang. “Tolong kamu ngerti.”
“Bukan karena kamu udah punya pacar baru kan?” Tanya dewi penuh selidik.
Dhani tertawa kecil. Dewi baru menyadari kalau kekasihnya yang akan segera menjadi mantan ini lebih tampan kalau tertawa. “Kenapa kamu bisa punya pikiran seperti itu? Aku murni melakukan ini buat kita. Biar kamu lebih konsentrasi kerja. Dan aku konsentrasi ke pendidikan. Itu aja. Kan aku udah bilang kalau mau sendiri dulu.” Jawabnya.
Dewi tercenung. Ia nggak terima ini. Jujur, dalam hati kecilnya meskipun selama ini ia seperti yang dituduhkan Dhani, menjaga jarak, tapi bukan berarti ia nggak sayang dengan Dhani. Ia menyayangi Dhani dengan caranya sendiri. Tapi mungkin ia juga salah. Yang dibutuhkan Dhani bukan sekedar kalimat atau text berisi kata sayang, ia butuh tindakan nyata. Ekspresi cinta yang terlihat. dan inilah yang harus terjadi. Dhani memilih mengakhiri hubungan mereka setelah menghilang. Hanya karena Dewi yang terlalu pasif. Egois sekali. Pikirnya.
“Kamu jangan diem aja Dew.” Kata Dhani. Gesture-nya terlihat gelisah.
“Apa kita nggak bisa perbaiki Dhan? Aku nggak pengen putus dari kamu.” Kata Dewi.
Dhani menggeleng. “Maaf Dew. Aku juga berat melakukan ini. Tapi, hubungan kita udah mentok.”
Dewi menghela napas dengan berat. Yah, sabar aja lah. Toh, kami masih bisa berteman.
“Ya udah kalo itu mau kamu.” Dhani tersenyum lebar. Entah kenapa Dewi merasa kalau Dhani benar-benar ingin mereka putus.
“Makasih Dew. Kita masih bisa berteman kok.” Dhani menggenggam tangannya.
“ Ya….” Jawab Dewi malas. Ia tidak berminat membalas genggaman Dhani. Ya sudah, sampai di sini saja ia dan Dhani. Tapi Dewi ragu ia bisa kuat menerima kenyataan kalau ia dan Dhani hanya berteman mulai sekarang. Bagaimana pun, suatu saat Dhani akan mengambil alih Fishbone dan itu semakin memperbesar kesempatan mereka bertemu. Ya Allah, kenapa Anda begitu jahat pada saya?

Dewi masih tercenung sejenak sementara Dhani telah beranjak dari sampingnya. Ia sudah menyiapkan diri jika hal seperti ini terjadi. Tapi ternyata persiapan dan kenyataan itu dua hal yang sangat berbeda.

Ada sesuatu yang besar dan menggumpal mendesak untuk keluar dari dalam jantungnya. Dewi ingin mengeluarkan gumpalan itu, tapi yang ada malah tetesan air dari kedua sudut matanya. Ia mengusapnya lalu menarik napas beberapa kali. It's ok. Semuanya bakal baik-baik saja. 

"BABY...!!! Kamu di sini? Ya ampun, seneng banget aku ketemu kamu...." Suara nyaring Rika terdengar terkejut namun senang saat melihat seseorang.
"Ka... Kamu ngapain di sini?"
"Ya makan lah. Aku mau minta anter kamu jalan-jalan, tapi kamu selalu alesan nggak bisa. Jadi ya aku pergi sendiri. Eh, mbak Dewi. Sini mbak." Rika menarik tangan Dewi. "kenalin, ini pacar aku, Dhani. Kita baru jadian lhoh."
Raut bersalah campur tertangkap basah tampak jelas di wajah Dhani, sementara Dewi menatap tajam tepat ke matanya.
"Sendiri dulu, huh?!" gumamnya tajam.

To Be Continued.....................