Rabu, 29 Juni 2011

Angel

I

Dewi memandang keluar jendela yang berembun karena hujan. Senyum kecil terkembang di bibirnya. Ia suka hujan. Mulai dari yang hanya rintik-rintik, sampai yang sangat deras. Tapi yang paling ia suka adalah aroma tanah basah setelah tersiram air hujan.

"Dewi." Panggil sebuah suara yang membuatnya menoleh. "pesanan meja nomer 9." Sambung suara tadi. Dewi mengangguk dan segera mengambil nampan yang sudah terisi tiga gelas juice alpukat. Sementara Aldi, staff dapur yang memanggilnya tadi, menyiapkan nampan lain berisi dua porsi salmon lada hitam dan satu porsi salad tuna yang segera diambil Risa.

"Silahkan. Selamat menikmati." Kata Dewi setelah menghidangkan tiga gelas juice alpukat di meja nomor 9. Tak lupa ia memberikan senyum termanis untuk pelanggan yang terlihat lelah yang menempati meja itu. Risa, temannya sesama waitress, menyusul di belakangnya dan menghidangkan tiga porsi makanan berbahan ikan yang dibawanya. Pelanggan meja nomor 9 mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua dan segera menyantap hidangan yang mereka pesan.

"Shift kamu bentar lagi abis kok Dew, tenang aja." Kata Risa saat melihat Dewi melihat jam tangan mungil yang melingkar di lengan kirinya. Dewi menoleh kepada Risa lalu tersenyum.

"Aku nggak nungguin shift abis kok Ris. Jamku mati, makanya dari tadi kok waktunya lambat banget." Jelas Dewi sambil mengacungkan lengan kirinya.

Risa tertawa geli. Tidak menyangka alasan Dewi sesederhana itu. Dewi dan Risa adalah dua diantara dua puluh pelayan, satu chef kepala, empat chef dan dua petugas kasir di Fishbone. Rumah makan yang terletak di pusat kota Kediri. Sejak berdiri dua tahun yang lalu, tempat ini sudah menarik perhatian masyarakat. Mulai dari desain tempatnya yang unik sampai masakannya yang semua berbahan dasar ikan atau hasil laut lainnya. Dan siang ini juga siang-siang sebelumnya, Fishbone ramai oleh para pengunjung yang kebanyakan adalah karyawan perusahaan atau mahasiswa berdaya beli tinggi.

Dewi sendiri baru satu tahun bekerja sebagai waitress di Fish Bone. Posturnya yang bertinggi 155 cm memang kalah tinggi dengan Risa yang 165 cm. Meskipun dibantu sepatu hak tinggi. Tapi wajahnya yang selalu cerah menyambut para tamu yang datang ke Fishbone, lebih akrab daripada siapa pun. Menurut Risa, faktor itulah yang membuat orang-orang selalu kembali ke rumah makan ini, selain masakan lezat hasil racikan Pak Braham, Head Chef  Fishbone. Setiap hari, senyum tulus hampir tidak pernah hilang dari wajah Dewi, seakan-akan ia tidak pernah memiliki masalah dalam hidupnya. Wulan yang berjaga di kasir pun heran, dan pernah iseng bertanya, bagaimana membuat Dewi cemberut? Tapi Dewi justru menanggapinya dengan tawa.

"Dew, bantu Bagas antar pesanan ke meja nomer 3 ya." Kata Aldi ketika Dewi sampai di konter penyajian. Sebuah troley sudah terisi dengan berbagai hidangan dalam porsi besar.

"Ok bos. Wah... pesennya banyak amat. Siapa nih?"

"Biasa. Kelompok eksmud mampir." Sahut Bagas.

"Cowok semua lho Dew, ati-ati ye.." Canda Aldi yang diiringi tawa Bagas. Dewi hanya tersenyum lalu mengikuti Bagas yang mendorong troley perlahan.

Meja nomor 3 memang diperuntukkan bagi pelanggan yang ingin mengadakan jamuan besar. Biasanya yang mem-booking adalah para bos yang ingin mengadakan rapat dalam suasana yang santai dan privat karena letaknya juga agak terpisah dari meja-meja lain. Meja ini terletak di ruangan yang dibatasi dinding kaca dengan hiasan ornamen dari kaca patri warna-warni. Dewi agak terkejut ketika sampai di meja yang dituju, hanya ada empat orang pria di sana. Sangat sedikit jika melihat jumlah makanan yang dipesan yang seharusnya untuk delapan orang.

"Akhirnya makanan datang..." Kata salah seorang di antara empat pria tadi. Badanya tinggi besar dan berkacamata

"Wah, kita udah kelaperan nih mbak Dewi." Sahut yang lain.

"Lho, elu kenal sama mbaknya Jo?" Tanya pria ketiga yang berwajah oriental keheranan.

"Enggak sih. Tapi kan ada namanya." Pria yang dipanggil Jo tadi menunjuk name tag berhias tulang ikan berbentuk huruf 'O' yang menjadi simbol Fishbone yang tersemat di dada kiri Dewi.

"Jiah... kirain kenal..." Si pria pertama menoyor kepala Jo yang justru tertawa.

"Mbak Dewi udah punya pacar belom?" Tanya si pria oriental yang disusul ledekan dari teman-temannya.

"Memangnya kenapa mas?" Dewi balik bertanya sambil meletakkan setiap hidangan di meja.

"Nggak. Tuh, teman saya yang di ujung baru putus, kali aja mbak minat." Pria keempat yang sedari tadi hanya diam melirik kesal ke arah teman-teman yang menertawakannya. mereka pikir putus itu peristiwa paling lucu dalam sejarah. Dewi melihat ke arah pria itu, wajahnya putih dan cerah serta berpostur tegap. Fisik yang sempurna dan pasti hidupnya mapan. Aneh jika pria seperti ini mengalami putus cinta. Gumam Dewi dalam hati.

"Wah, sayangnya saya udah punya pacar." Jawab Dewi yang disambut 'yaahh....!!' oleh ketiga pria, kecuali pria keempat yang sepertinya tidak peduli dunia ini mau jadi apa. "tapi temen saya ini masih jomblo lho." Dewi menepuk pundak Bagas yang segera disambut tawa oleh ketiganya, sementara Bagas tidak terima dengan kata-kata Dewi.

"Emangnya aku udah nggak doyan cewek?!" Tanya Bagas sewot. Dewi hanya tertawa geli menanggapi. Ia kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk bersantap siang sebelum kembali ke dapur bersama Bagas. Saat melewati meja kasir, Dewi berhenti sejenak. Seorang pria berpenampilan casual -mungkin mahasiswa- yang baru melewati pintu masuk melambaikan tangan ke arahnya, Dewi balas melambaikan tangan dan memberi tanda agar pria itu menunggu.

"Deuh.. udah dijemput." Celetuk Wulan. Dewi menoleh dan tersenyum ke arah temannya itu.

"Aku duluan ya.." Katanya.

to be continued....

Dia, bagi saya...

istilah ilmu sosialnya, sekarang dia itu kebutuhan primer. Hehehe. Gimana nggak? Rasanya aneh kalo nggak ada dia di dekat saya. Kalo kata Syahrini sih, aku tak biasa bila tiada kau di sisiku -alah... lebay..!!- Tapi bener kok. Kami memang masih baru menjalin hubungan. Tapi dalam waktu yang singkat ini, saya merasa dia sudah jadi bagian dari hidup saya. Meskipun kadang-kadang saya agak ragu juga. Keraguan saya bukan tanpa sebab. Semuanya karena faktor dari diri saya sendiri. Saya merasa saya tidak berpotensi disukai seseorang. Tapi... saya nggak ingin berspekulasi apa-apa deh. Susah maupun senang dan apa pun resikonya, saya memilih untuk menghadapinya aja. Saya tidak tahu apa rencana Tuhan dibalik ini semua. Jadi saya memilih untuk menghadapinya, sekali lagi.
Dalam suatu hubungan, selalu ada perbedaan sekecil apa pun itu. Entah dari hal-hal yang terlihat maupun yang tidak. Mengutip syair lagu Heartbeat dari Tahiti 80,

I never find another way to say...
I love you more each day...

Yup, itulah saya. Hal sederhana dan biasa sudah cukup bagi saya. Dan saya ingin dia tahu, tanpa saya katakan, hati saya untuk dia. Well, aneh kalo saya harus curhat di dunia maya begini. Nggak biasa sih :)

Selasa, 07 Juni 2011

Something new

Saya ingin sekali menulis blog yang berbeda. Tapi nggak bisa dibilang blog juga sih. Ini mungkin akan jadi novel bersambung. Yah, saya pikir nggak ada salahnya. Jadi mulai hari ini, blog-nya akan sedikit berbeda. Eum... nggak pasti hari ini sih. Pokoknya dalam waktu dekat :)

Jumat, 03 Juni 2011

How does is missing like?

Bagaimana rasanya rindu? Yah, seperti ini. Pagi ini, dari kemarin sebenarnya. Saya sedang kangen berat dengan dia. Padahal kami bertemu tiap hari. Tapi kok rasanya masih kurang saja ya? :D
Saya berdo'a semoga dia baik-baik saja pagi ini. Dan semoga kami segera bisa bertemu lagi. Amin. Saat ini dia sedang ada tugas ke suatu tempat. Bukan tugas yang penting tadinya. Tapi sekarang jadi penting sih :)
Saya sering bertanya-tanya dalam hati. Apakah kami akan baik-baik saja nanti? Bagaimana hubungan kami ke depannya? Jika dilihat dari usia, saya dan dia memang sudah pantas untuk berkeluarga. Tapi untuk saat ini, sepertinya kami harus berjuang keras untuk itu. Just like a water flow. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan kami yang masih sangat baru ini. Hari ini, tepat satu bulan kami jadian. Tapi, saya berusaha untuk tidak menghitung setiap detik lama kebersamaan kami. Meskipun, yah, harus saya akui saya cukup mengingat waktu-waktu yang kami habiskan bersama. Only the two of us. Saya sering bertanya kepadanya, kenapa saya sering kangen? Padahal hampir setiap hari kami bertemu. Dia juga heran, kenapa dia juga sering kangen saya? Padahal kami nggak berjauhan.
Tapi, setiap rasa kangen yang saya dan dia rasakan ini, setiap moment unik dan konyol yang kami habiskan berdua, tidak ingin saya lupakan. Saya ingin menyimpannya baik-baik dalam memori otak saya. Meskipun detik ini, saya terkadang bertanya dalam hati, apakah saya satu-satunya yang dia pikirkan?