Rabu, 26 Desember 2012

Idola (Tidak) Sama Dengan Dewa

Ada satu fenomena menarik yang akhir-akhir ini saya bahas bareng seorang teman kantor. Tentang groupies atau fanatis mungkin lebih tepatnya. Mereka ini adalah fans yang bisa dibilang gila-gilaan lah mendukung idolanya. Mohon dikoreksi kalo istilah saya salah ya. Apalagi dengan mudahnya teknologi seperti sekarang, sangat gampang bagi seorang idola menggalang dukungan dan memperoleh fans sebanyak-banyaknya. Pun untuk para fans, gampang banget buat mereka berinteraksi dengan idolanya meskipun cuma di dunia maya.

Tapi seiring berjalannya waktu, lama kelamaan saya jadi mendapati ada semacam bullying antar fans -jiah... bahasa saya kayak editor tabloid aja... hahaha...- Yang paling gampang diinget aja, pas Selena Gomez pacaran sama Justin Bieber , para beliebers langsung mention ke akun twitter Selena Gomez pake ancaman yang nggak cuma ekstrim, tapi triple ekstrim. Pake mau ngebunuh segala. Udah gitu yang kena ancem bukan cuma idolanya, tapi juga fans-nya. Pernah denger cerita dari temen juga kalo dia pernah in touch sama seorang K-Pop Lovers. Temen saya nih kebetulan seorang Japanesia. Orang Indonesia yang suka segala hal tentang Jepang. Nah, si K-Pop Lovers ini suka nggak terima tuh waktu temen saya membahas kekurangan para Idol K-Pop. Dia ngebelain orang-orang negeri ginseng yang belum tentu kenal sama dia ini sengotot-ngototnya bahkan kalo perlu sampe mati kali. Hahaha... Miris banget denger ceritanya. Belum lagi kalo suka baca berita para seleb di internet -ampun dah...!!!- yang melibatkan para fans di garda depan sebagai Pasukan Pembela Idolanya, kadang suka ketawa sendiri. Bukan berarti saya nggak menghargai idola setiap orang. Saya sendiri juga punya idola. Mungkin sama dengan idola kamu, tapi saya nggak akan -dan mudah-mudahan nggak akan pernah- se-brutal para groupies yang ngebelain idolanya mati-matian. Mulai dari nyerang orang lain yang mengritik idolanya, bullying via twitter, sampe curhat di-wall facebook dan yang lebih parah adalah memuja idolanya setinggi langit. Padahal belum tentu mereka ngebelain ibunya sendiri se-ekstrim itu

It's ok kalo kamu mau appreciate prestasi idola kamu, tapi nggak usah langsung menghujat haters ketika mereka menghina idola kamu. Bukannya itu malah nunjukin kalo kamu bukan fans yang qualified untuk mengidolakan sosok yang WOW? Rasanya saya pengen gitu ngomong ke fans yang lebay ini, cobalah lihat gimana idola kamu menghadapi haters. Kalo dia menanggapi komen para haters dengan cara elegant, ya kamu harus menirunya juga. Tapi kalo idola kamu menanggapi para haters dengan brutal dan kamu menirunya, berarti kamu salah memilih idola. Hahaha... -maksa sekali- Dan satu lagi. Idola juga manusia. Jadi ketika mereka tersandung masalah dan jadi bulan-bulanan media, kita dukung seperlunya aja. Cukup support moril tanpa mengabaikan kekurangan dia. Jangan tutup mata karena itu sama saja kita mendewakan mereka.

At least, silahkan jika kamu mau mendukung idolamu dalam karyanya dan menguatkan mereka dalam musibahnya. Tapi be elegant, itu yang menunjukkan kalau kita adalah fans yang cerdas. Banggakan kelebihannya, dan terima kekurangannya. Maka para haters pun akan menghargai idola kamu dan para fans-nya.

Minggu, 23 Desember 2012

A Day before The Day

Aku mondar-mandir dengan cemas dalam kamar. Sesekali berhenti di depan cermin pintu lemari. Memerhatikan diriku dengan seksama. Wajah bulat dengan hiasan beberapa bintik jerawat, rambut sebahu yang tampak tipis -it's ok. Nanti bisa pake conditioner merk baru setelah keramas- dan tubuh kurus yang nggak terlalu tinggi -well, sebenernya perut yang sedikit berlemak itu nggak benar-benar mengesankan kurus- setelah itu menghempaskan diri di atas kasur yang sengaja digelar tanpa ranjang. Duduk tanpa melakukan apa-apa.

Kupandangi sekeliling kamar dan mendengar lalu lalang orang-orang yang sibuk di luar. Besok. Kuambil bantal dan mulai merebahkan diri. 12 tahun yang lalu aku menempati kamar ini sebagai gadis berusia 12 tahun. Setelah itu meninggalkannya untuk mengejar mimpi dan melihat-lihat dunia. Dan sekarang aku kembali lagi untuk menghadapi hari yang benar-benar bersejarah. Ternyata waktu memang sangat cepat berlalu. Aku sendiri nggak menyangka sudah sebesar ini. Aku lalu bangun dan membuka pintu. Kampir saja menabrak seorang ibu yang datang terburu-buru membawa bungkusan besar.
"Eh, ini tho calon pengantennya?" aku tersenyum menjawab pertanyaannya yang ramah.
"Selamat ya nduk. Nggak nyangka lho, akhirnya kamu nyusul adikmu juga." katanya disusul derai tawa.
"Terima kasih." jawabku singkat. Aku sedang nggak ingin bicara malam ini.
"Oh iya. Ibumu mana? Bulik ada titipan ini."
"Mmmm... tadi sepertinya di belakang bulik. Mari saya antar." aku berjalan mendahului perempuan paruh baya itu menuju dapur yang nggak kalah sibuk. Semua orang menyambutku ramah. Sepertinya mereka ikut berbahagia meskipun bertugas di dapur yang semrawut.
Aku mendatangi seorang wanita paruh baya yang sibuk mengupas bawang.
"Bu." aku menyentuh pundaknya.
"Kenapa nduk?"
"Ada bulik." jawabku pendek. Ibuku menoleh dan langsung terlibat obrolan seru dengan tamu yang datang tadi. Aku kemudian meninggalkan dua orang wanita itu di dapur yang semakin ramai. Saat sampai di pintu aku berhenti dan menoleh ke arah ibuku yang wajahnya terlihat bahagia dan segar. Padahal jejak usia terlihat jelas di wajah 64 tahunnya. Badannya yang berubah kendor dibalut daster lengan panjang. Dan rambut itu sepertinya lebih banyak uban daripada kemarin.
Tiba-tiba aku seakan mendengar suara piano yang mengalun pelan mengiringi perasaan melankolis yang tiba-tiba datang. Ibu tertawa dan memperlihatkan giginya yang mulai tanggal. Tangannya masih sibuk mengupas bawang sambil sesekali menanggapi obrolan tamunya. Ibu ternyata sudah setua ini. Atau cuma perasaanku karena selama ini jarang di rumah? Kemarin aku mencium tangan itu selepas shalat 'isya. Baru benar-benar aku rasakan teksturnya yang lebih kasar dari tanganku sendiri. Kemudian beliau melanjutkan wirid dan mengaji. Suaranya terdengar agak sengau tapi tetap jelas. Sepertinya dulu suara ibu lebih merdu ketika mengaji. Apa karena sudah tua? Tapi, suara itulah yang selalu melantunkan do'a buatku. Tangan itulah yang bekerja keras untukku. Membelai kepalaku saat meminta restu dan bibir itu yang mencium pipiku selama 24 tahun ini dengan penuh sayang. Ada sedikit perasaan bersalah mengingat besok aku akan dinikahi oleh orang yang baru kukenal 2 tahun ini. Ibu kira-kira marah nggak kalo aku tinggal? Ibu kecewa nggak kalo aku jarang menemaninya? Ibu sakit hati nggak kalo aku lebih jarang pulang?
Tiba-tiba saja suara piano itu berhenti dan berganti dengan keriuhan semula. Aku langsung menghapus air mata yang tiba-tiba merembes dan berlalu ke kamarku lagi. Tepat saat pintu kamar menutup, ponselku berbunyi, memainkan single Payphone milik Maroon 5.
"Halo?" sapaku sambil menahan tangis.
"Sayang, kamu lagi apa?" ternyata calon suamiku.
"Nggak... apa-apa..." jawabku sedikit tersedak. Aku bener-bener nggak bisa nahan tangis.
"Kamu kepikiran ibu ya?" aku mengangguk lalu buru-buru menjawab 'iya' mengingat dia tidak ada di hadapanku sekarang.
"Insya Allah ibu bakal baik-baik aja. Dia justru bahagia bisa lihat kamu menikah. Jangan nangis dong, masa calon pengantin matanya bengkak? Nanti aku dikira nikah sama panda lagi..." candanya yang membuatku sedikit terhibur dan tertawa kecil di sela tangis.
"Kalo... nanti.... aku kangen ibu,... boleh pulang nggak?" tanyaku.
"Boleh, sayang. Nanti aku sendiri yang anter kamu pulang." jawabnya. Aku menggumamkan terima kasih lalu diam. Hanya sesekali terisak karena tidak tahu harus bicara apa lagi. Calon suamiku masih menyalakan teleponnya, sebelum menyuruhku ke kamar mandi dan mengambil wudhlu.

Jumat, 07 Desember 2012

Ketika Sama-Sama Sulit... (Baca dan Renungkan)

Pernahkah dalam kondisi di mana kamu sedang kesulitan dan butuh uang, sementara temanmu juga mengalami hal yang sama? Saya menyebut kondisi ini sebagai dilemma. Ketika ada orang yang meminta pertolongan kita sementara kita sendiri juga sedang kesulitan.

Sekitar 5 hari yang lalu, ada seorang teman yang meminjam uang ke saya dengan nominal yang lumayan besar. Bukan untuk kebutuhan primer, melainkan untuk kebutuhan skundernya yang juga penting. Sebenernya saya juga sedang membutahkan uang yang dia pinjam. Tapi entah apa yang ada di pikiran saya saat itu, saya langsung meminjamkan saja. Dia mengucapkan terima kasih dan berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin.

Tapi setelah itu, jadi hal yang sedikit banyak membuat saya menyesal meminjamkan uang itu. Karena begitu pacar saya tahu, dia marah bukan main. Soalnya kami memang sedang butuh dana lebih untuk pernikahan nanti. Sampai-sampai, dia bilang saya ini pahlawan kesiangan. Kami akhirnya beradu argumen via SMS. That was sucks. Karena seakan-akan saya ini nggak punya otak dan bersikap seolah-olah saya punya segalanya dengan meminjamkan uang yang saya butuhkan. Ketika saya curhat pada seorang teman pun. Kurang lebih mendapatkan jawaban yang sama. Memang nggak se-ekstrim jawaban pacar saya, tapi dia menyesalkan kenapa saya justru dengan mudah mengasihani orang tanpa melihat kondisi diri sendiri?! Saya nggak tahu mesti berargumen apa. Sempat ada bayangan kalau uang yang saya pinjamkan akan lama kembalinya dan merusak rencana-rencana saya. Karena rencana awal, uang itu akan digunakan untuk mengganti uang yang saya pinjam dari ibu ketika mengurus berkas pernikahan.

Di tengah suasana hati yang serba nggak menyenangkan itu, saya teringat beberapa cerita di mana sang tokoh utama yang kesulitan menolong orang lain yang juga sama kesulitannya dengan dia. Misalnya, cerita tentang seorang pelacur yang meninggal hanya gara-gara memberikan air yang dia dapat dengan susah payah kepada seekor anjing. Pelacur dan anjing itu sama-sama makhluk yang dibenci oleh orang-orang di agama kami. Tapi Allah menaikkan derajat si pelacur dan memberinya tempat di surga gara-gara menolong sesama makhlukNya yang kesulitan. Si pelacur bisa saja meminum air itu sendiri dan membiarkan si anjing mati kehausan, toh dia yang susah payah mengambil air itu dari oasis yang hampir kering untuk membasahi tenggorokan.

Manusia adalah makhluk yang egois. Tapi bolehkah kita meng-halal-kan egoisme untuk hal yang mendesak. Mungkin kamu akan bilang, 'saya kerja susah-susah biar dapet uang buat makan. Kamu seenaknya aja minjem!' atau mungkin yang lebih halus 'maaf ya, saya lagi butuh uang itu.'
Entahlah, kayak ada sesuatu yang memberontak di sudut hati saya. Semacam, 'kenapa kamu biarin orang lain makan tempe sementara kamu bisa makan daging?'

Saya mungkin orang yang bodoh soal mendahulukan kepentingan diri sendiri atau orang lain. Tapi, biarlah Sang Pencipta saya yang menilai. Saya hanya berpikir, manusia diturunkan ke dunia untuk saling membantu dalam hal apa pun. Asal nggak melanggar hukum.

Maka saya berdo'a kepada Allah, kalo memang saya sangat bodoh dengan memberi pinjaman orang lain padahal saya sendiri juga butuh, maka saya nggak akan mengulangi lagi.Saya akan mengatakan alasan apa pun supaya orang berhenti meminta belas kasihan saya. Tapi kalau apa yang saya lakukan benar, maka saya minta satu keajaiban saja. Kembalikan uang saya secepatnya.

Saya bukan ahli ibadah atau ahli agama, tapi saya tahu seberapa besar pun dosa seseorang, mereka tetap berhak berdoa dan meminta kepada Tuhannya. Maka keajaiban itu memang terjadi, keesokan harinya uang itu kembali dengan jumlah yang sama saat saya meminjamkan. Saya bersyukur bisa membuktikan keajaiban secepat ini, dan semoga di masa yang akan datang, nggak akan ragu lagi menolong orang. Saya belajar bahwa, sesulit apa pun, manusia masih diberi kemampuan untuk menolong sesama. Dan bayarannya, sangat besar.