Selasa, 17 Februari 2015

Angel Bab 2 (Part 1)

Lanjutan Bab 1 (Part 3)

"SENDIRI DULU?!" Tanya Dewi dengan suara penuh penekanan tajam. Rika melihat bingung antara Dewi dan Dhani secara bergantian.
"Dew, aku..."
Dewi menyentak tangan Dhani dari tangannya. Ia lalu bergegas menuju pantry diiringi suara Rika yang manja dan terkesan polos.
"Kamu kenal dia, babe?"
Eukh.... rasanya Dewi ingin muntah saat itu juga. Berhari-hari tanpa kabar, begitu ketemu minta putus, dan belum lima menit mereka putus seorang perempuan yang selalu terlihat cute memanggil babe kepada mantan pacarnya. Kenapa nggak sekalian aja mereka nikah di depanku? rutuk Dewi dalam hati.

Dewi menghempaskan badannya di bangku ruang locker karyawan. Gumpalan dalam dadanya sekarang keluar berupa air mata. Dewi menangis sendirian dalam ruang locker tanpa suara. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat saat Diana, adiknya, saat baru putus dan ia meledeknya. Ia berkata tidak seharusnya Diana menangisi cowok yang cuma main-main. Harusnya ia lega karena sudah terbebas dari cowok seperti itu. Dewi pun sempat sesumbar jika dia tidak akan menangis jika putus. Kalau cerai, mungkin saja. Tapi kenyataannya, justru dia sesenggukan sendiri tanpa ada siapa pun yang menenangkannya. Jadi ini yang dirasakan Diana waktu putus.

Sekarang apa? Apa ia harus resign dari Fishbone untuk menghindari pertemuan dengan Dhani atau ia tetap bertahan untuk menunjukkan kepada siapa pun, terutama Dhani bahwa ia tegar, baik-baik saja. Dua-duanya pilihan yang berat. Faktanya ia tidak setegar itu. Dewi kembali menangis. Ia tidak peduli jika nanti supervisor memanggilnya dan memberi surat peringatan. Surat pemecatan sepertinya lebih bagus. Atau sekalian saja Tuhan mencabut nyawanya saat ini juga supaya dia tidak merasa tertekan saat bertemu Dhani.

Dewi menghapus air matanya. Kenapa saya, Allah? Dan kenapa saya harus sesedih ini? Dhani mungkin bukan yang terbaik, jadi tolong hentikan air mata saya. Tapi dia kembali menangis. Sedetik kemudian dia mengambil tas dan jaket. Dia tidak peduli shift-nya masih lama, dia hanya ingin pulang sekarang. Besok dia siap menghadap supervisor atau bahkan Rosaline sekali pun. Dewi memakai jaketnya sambil sesenggukan lalu berjalan cepat keluar restoran saat ponselnya berbunyi.

"Halo?" sapanya dengan suara bergetar.
"Hai, Dew. Kemarin kakakku pulang dari Solo bawain baju batik buat kamu. Bagus deh. Sepasang lho. Bisa kamu pake kembaran sama Dhani. Nanti aku bawain ya...." air mata Dewi mengucur makin deras. Suara Risa yang ceria kabur. Dia tiba-tiba saja tidak menangkap apa yang ia katakan. Dia butuh Risa. Dia ingin bicara dengan sahabatnya itu saat ini juga. Kenapa sih Risa mesti pulang ke Blitar di saat seperti ini? Kenapa Allah suka sekali melihat dia menderita?
"Halo, Dew? kamu nangis?" Dewi hanya menjawabnya dengan senggukan. Hanya itu yang bisa dia katakan sekarang. Mungkin Risa baru menyadari kalau Dewi menjawab setiap kalimatnya dengan senggukan.
"Kamu nangis kenapa Dew? Cerita dong sama aku. Siapa yang udah bikin gara-gara sama kamu? Jangan bilang Dhani ya?! Kalo sampe dia..."
BRAAKKKK!!!
Risa tersentak saat mendengar suara benturan di telinganya.
"Ha... halo, Dew?" Tidak ada jawaban. Bahkan senggukan seperti yang baru saja ia dengar. Malah suara dengung panjang yang menandakan komunikasi mereka putus yang tertangkap telinganya.
Perasaan cemas tiba-tiba menyergapnya. Risa takut sesuatu yang buruk terjadi pada Dewi. Ia buru-buru lari ke kamarnya.
"Hei, ati-ati dong." gerutu kakaknya yang hampir ia tabrak.
***

Diana sedang menyiapakan cemilan sore saat ponselnya berdering.
"Halo?... Iya, saya Diana. Adiknya..." Diana mendengarkan suara orang yang meneleponnya, kemudian mendadak seluruh tenaganya habis. Ia buru-buru berpegang pada tepian meja.
"Bu..." panggil Diana. Suaranya nyaris tak terdengar tapi anehnya ibu menjawab panggilannya.
"Kenapa Di? Lho, kamu ngapain duduk di lantai?" Diana memandang ibunya dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.
"Mbak Dewi..." jawabnya dengan suara tercekat.
Tiba-tiba perasaan ibunya tidak enak.
***

Jam 6 petang tepat saat Risa turun dari bus yang ditumpanginya dari Blitar. Ia lalu menumpang becak menuju Fishbone. Perasaannya campur aduk membayangkan yang tidak-tidak terjadi pada Dewi. Sahabatnya itu tidak mungkin menangis sampai tidak bisa bicara kalau tidak ada sesuatu yang memukul telak perasaanya. Dewi adalah pribadi yang sangat sensitif dan lugu. Risa pernah mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan apa kata orang dan lebih berani. Tapi sepertinya terlalu sulit bagi Dewi untuk melakukannya.
"Terima kasih, Pak." ujar Risa saat membayar ongkos becak. Ia bergegas menuju Fishbone yang lumayan ramai. Didorongnya pintu kaca lalu menuju kasir.
"Wulan, mana Dewi?"
"Lho, kamu bukannya cuti Ris?" tanya Wulan balik.
"Nggak usah dipikirin. Sekarang mana Dewi?"
Wulan baru akan menjawab tepat saat ponsel Risa berbunyi.
"Halo?"
"Mbak Risa. Ini Diana, mbak?"
"Eh, Di. Kenapa?"
Bukannya menjawab, Diana malah menangis. Risa mengerutkan kening. Kenapa semua orang yang dihubunginya menangis si? Oke, nggak semua. Cuma dua. Dewi dan Diana, adiknya. Tapi masalahnya Risa nggak bisa menerjemahkan tangisan seseorang.
Diana masih menangis beberapa saat. Lalu dengan terbata-bata ia bercerita. Dewi mengalami kecelakaan lalu lintas saat pulang kerja. Untungnya si penabrak bertanggung jawab dan bersedia menanggung semua biaya pengobatan sampai sembuh. Tapi berdasarkan diagnosa dokter, Dewi mungkin akan koma dalam beberapa waktu karena mengalami trauma yang sangat hebat.
Tanpa membalas sedikit pun apa yang disampaikan Diana, Risa memutuskan sambungan. Ia berharap Diana mengerti, ia terlalu shock untuk menjawab.
"Ris, kenapa? Itu tadi adiknya Dewi kan? Dewi kenapa?" Berondong Wulan dengan raut khawatir.
"Lan, Dewi itu orangnya ati-ati banget kan? Kamu pasti tau apa yang bikin dia ceroboh sampe sekarang... dia di rumah sakit." Risa tidak sanggup dan bakan ragu saat akan mengatakan jika Dewi koma.
"Dewi di rumah sakit? Jangan becanda kamu."
"Diana yang barusan kasih tau sampe nangis-nangis. Kamu seharian di sini kan? Sekarang jelasin."
Wulan menghela napas sejenak. Ia lalu bercerita tentang cewek 'Korea' yang siang tadi datang ke Fishbone, pembicaraan pribadi Dhani dan Dewi, sampai Dewi yang berteriak di depan Dhani dan menangis di belakang. Wulan tidak tahu jika Dewi akirnya pulang lalu mengalami kecelakaan dan sekarang di rumah sakit.
Risa mengepalkan tinjunya di atas meja kasir.
"Kampret tuh si Dhani!" umpatnya. Wulan menggamit lengannya dan menunjuk ke belakang Risa dengan dagu. Risa menolah dan seketika hatinya mendidih saat melihat siapa yang ditunjuk Wulan.
"Dhani!"
Dhani yang sudah membuka pintu, dan semua orang di restaurant menoleh ke arah suara yang meneriaakan namanya bersamaan dengan bogem mentah yang mendarat mulus di wajahnya.
"Ya ampun! Baby...!!" teriak Rika histeris.
"Diem kamu, perek! Baby, baby....! Babi yang bener!"
"Ris... udah Ris. Nanti kamu bisa dipecat." Wulan buru-buru menahan tangan Risa yang siap melancarkan tinju kedua. Sementara Rika menangis tersedu-sedu di sebelah Dhani.
"Bodo amat! Mending jadi pengangguran daripada kacung babi kayak dia!"
"Risa!"
Keempatnya menoleh. Begitu juga dengan semua orang di ruangan itu. Rosaline menyilangkan kedua tangannya.
"Ke ruangan saya." katanya singkat, lalu menuju ruang manajerial. "liat apa? Semuanya kembali kerja. Layani para tamu." Ia menarik salah satu pelayan yang dilewatinya. "bilang Pak Braham, kasih semua tamu malam ini seporsi tom yam sebagai compliment dari Fishbone."
"Siap bu."

Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar