Minggu, 23 Desember 2012

A Day before The Day

Aku mondar-mandir dengan cemas dalam kamar. Sesekali berhenti di depan cermin pintu lemari. Memerhatikan diriku dengan seksama. Wajah bulat dengan hiasan beberapa bintik jerawat, rambut sebahu yang tampak tipis -it's ok. Nanti bisa pake conditioner merk baru setelah keramas- dan tubuh kurus yang nggak terlalu tinggi -well, sebenernya perut yang sedikit berlemak itu nggak benar-benar mengesankan kurus- setelah itu menghempaskan diri di atas kasur yang sengaja digelar tanpa ranjang. Duduk tanpa melakukan apa-apa.

Kupandangi sekeliling kamar dan mendengar lalu lalang orang-orang yang sibuk di luar. Besok. Kuambil bantal dan mulai merebahkan diri. 12 tahun yang lalu aku menempati kamar ini sebagai gadis berusia 12 tahun. Setelah itu meninggalkannya untuk mengejar mimpi dan melihat-lihat dunia. Dan sekarang aku kembali lagi untuk menghadapi hari yang benar-benar bersejarah. Ternyata waktu memang sangat cepat berlalu. Aku sendiri nggak menyangka sudah sebesar ini. Aku lalu bangun dan membuka pintu. Kampir saja menabrak seorang ibu yang datang terburu-buru membawa bungkusan besar.
"Eh, ini tho calon pengantennya?" aku tersenyum menjawab pertanyaannya yang ramah.
"Selamat ya nduk. Nggak nyangka lho, akhirnya kamu nyusul adikmu juga." katanya disusul derai tawa.
"Terima kasih." jawabku singkat. Aku sedang nggak ingin bicara malam ini.
"Oh iya. Ibumu mana? Bulik ada titipan ini."
"Mmmm... tadi sepertinya di belakang bulik. Mari saya antar." aku berjalan mendahului perempuan paruh baya itu menuju dapur yang nggak kalah sibuk. Semua orang menyambutku ramah. Sepertinya mereka ikut berbahagia meskipun bertugas di dapur yang semrawut.
Aku mendatangi seorang wanita paruh baya yang sibuk mengupas bawang.
"Bu." aku menyentuh pundaknya.
"Kenapa nduk?"
"Ada bulik." jawabku pendek. Ibuku menoleh dan langsung terlibat obrolan seru dengan tamu yang datang tadi. Aku kemudian meninggalkan dua orang wanita itu di dapur yang semakin ramai. Saat sampai di pintu aku berhenti dan menoleh ke arah ibuku yang wajahnya terlihat bahagia dan segar. Padahal jejak usia terlihat jelas di wajah 64 tahunnya. Badannya yang berubah kendor dibalut daster lengan panjang. Dan rambut itu sepertinya lebih banyak uban daripada kemarin.
Tiba-tiba aku seakan mendengar suara piano yang mengalun pelan mengiringi perasaan melankolis yang tiba-tiba datang. Ibu tertawa dan memperlihatkan giginya yang mulai tanggal. Tangannya masih sibuk mengupas bawang sambil sesekali menanggapi obrolan tamunya. Ibu ternyata sudah setua ini. Atau cuma perasaanku karena selama ini jarang di rumah? Kemarin aku mencium tangan itu selepas shalat 'isya. Baru benar-benar aku rasakan teksturnya yang lebih kasar dari tanganku sendiri. Kemudian beliau melanjutkan wirid dan mengaji. Suaranya terdengar agak sengau tapi tetap jelas. Sepertinya dulu suara ibu lebih merdu ketika mengaji. Apa karena sudah tua? Tapi, suara itulah yang selalu melantunkan do'a buatku. Tangan itulah yang bekerja keras untukku. Membelai kepalaku saat meminta restu dan bibir itu yang mencium pipiku selama 24 tahun ini dengan penuh sayang. Ada sedikit perasaan bersalah mengingat besok aku akan dinikahi oleh orang yang baru kukenal 2 tahun ini. Ibu kira-kira marah nggak kalo aku tinggal? Ibu kecewa nggak kalo aku jarang menemaninya? Ibu sakit hati nggak kalo aku lebih jarang pulang?
Tiba-tiba saja suara piano itu berhenti dan berganti dengan keriuhan semula. Aku langsung menghapus air mata yang tiba-tiba merembes dan berlalu ke kamarku lagi. Tepat saat pintu kamar menutup, ponselku berbunyi, memainkan single Payphone milik Maroon 5.
"Halo?" sapaku sambil menahan tangis.
"Sayang, kamu lagi apa?" ternyata calon suamiku.
"Nggak... apa-apa..." jawabku sedikit tersedak. Aku bener-bener nggak bisa nahan tangis.
"Kamu kepikiran ibu ya?" aku mengangguk lalu buru-buru menjawab 'iya' mengingat dia tidak ada di hadapanku sekarang.
"Insya Allah ibu bakal baik-baik aja. Dia justru bahagia bisa lihat kamu menikah. Jangan nangis dong, masa calon pengantin matanya bengkak? Nanti aku dikira nikah sama panda lagi..." candanya yang membuatku sedikit terhibur dan tertawa kecil di sela tangis.
"Kalo... nanti.... aku kangen ibu,... boleh pulang nggak?" tanyaku.
"Boleh, sayang. Nanti aku sendiri yang anter kamu pulang." jawabnya. Aku menggumamkan terima kasih lalu diam. Hanya sesekali terisak karena tidak tahu harus bicara apa lagi. Calon suamiku masih menyalakan teleponnya, sebelum menyuruhku ke kamar mandi dan mengambil wudhlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar