Minggu, 23 September 2012

Suatu Petang Di Taman Dayu...

Hidup ini penuh misteri, penuh kejutan, serba kadang-kadang, dan absurd yang semuanya terangkum dalam satu kata, takdir. Mungkin takdir juga lah yang mempertemukan aku dengan seorang sahabat lama.

Sore menjelang petang adalah waktu yang Tuhan pilih untuk mempertemukan aku dengannya di Food Terrace, sebuah pujasera yang berlokasi di Taman Dayu, tempat hangout paling hip di Pandaan, sebuah pusat industri di Kabupaten Pasuruan tempat aku mencari nafkah.

"Ups, maaf..." gumam seorang perempuan yang nggak sengaja menabrakku.
"Nggak apa-apa." kataku sambil tersenyum sekilas dan berlalu ke meja yang kuincar setelah memesan seporsi nasi bebek dan segelas wedang jahe di salah satu stand. Bersamaan dengan aku duduk, tiba-tiba smartphone-ku berbunyi. Rupanya ada pesan. Segera kuperiksa sambil menunggu pesanan datang. Hmm.... sekalian ber-twitter sepertinya nggak masalah. Pesanannya mungkin agak lama.
"Uhm... maaf mbak, boleh duduk sini?" tegur seseorang.
"Silahkan... lho?" aku tertegun sejenak. Bukan karena orang yang menegurku ini adalah orang yang menabrakku tadi, tapi dia adalah orang yang sudah lama nggak kujumpai. Perempuan itu juga sama-sama kaget.
"Lyla?" tanyaku ragu.
"Iya... kamu... Sessa, bukan?" ia balas bertanya.
"Iya. Subhanallah... apa kabar Lyl?" aku bergegas berdiri dan merangkulnya. Terkejut sekaligus senang dengan pertemuan kami yang tiba-tiba.
"Baik. Alhamdulillah... nggak nyangka ketemu kamu di sini."
"Harusnya aku yang ngomong begitu. Ayo duduk." ajakku, "aku kan emang kerja di kota ini. Sedangkan kamu, bukannya di Bandung? Kok nyasar ke Pandaan?" Lyla tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
"Aku kan udah pulang kampung. Masa nggak tau sih?"
"Hahaha... iya, iya. Akunya yang lupa, maklum, udah menuju usia lanjut." ujarku yang diiringi tawa kami bersamaan dengan pesanan yang datang.

Lyla adalah teman sekolahku waktu di Kediri, kota kelahiranku. Kami nggak bisa dibilang dekat, tapi juga nggak terlalu renggang. Berteman biasa. Setahuku memang Lyla tinggal di Bandung setelah menikah dengan seorang pengusaha begitu lulus kuliah. Jadi aku cukup kaget ketika menjumpainya di Pandaan, kota yang setahuku belum pernah ia kunjungi. Sambil menyantap pesanan masing-masing, kami bertukar cerita saat masih SMA dulu. Gimana kabar teman-teman dan apa pekerjaan mereka. Juga keinginan untuk mengadakan reuni.
"Eh iya, gimana kabar anakmu? Siapa ya, namanya?"
"Armand." sahut Lyla.
"Nah, itu. Apa kabarnya? Udah segedhe apa sekarang?" kataku antusias.
Lyla tidak segera menjawab. "aku nggak tau." katanya pelan.
"Kok nggak tau?"
"Yah... dia kan udah punya mama baru. Jadi aku nggak tau kabarnya sekarang." jelas Lyla.
"Kamu divorced ya?" Lyla mengangguk. "sorry."
"It's ok. Aku nggak menyesal kok, Ses. Cuma yang aku sesali, kenapa Armand nggak bisa sama aku. Aku mungkin memang nggak sekaya Daryl, mantan suamiku. Tapi aku masih sanggup memenuhi kebutuhan Armand, bahkan menyekolahkan dia nanti." curhatnya.
Suasana jadi agak murung. Sementara aku melahap suapan terakhir dan Lyla meletakkan sendok. Sepertinya selera makannya lenyap.
"Udahlah, aku nggak pengen ngomongin itu sekarang. Sesekali masih bisa ketemu anakku kok. Lagian sekarang juga, aku udah punya pacar." katanya. Aku tersenyum.
"Ternyata Lyla yang dulu masih ada. Easy go, easy come." kami tertawa menanggapi kata-kataku. "kalo boleh tau, sama siapa nih sekarang? Kalo bisa jangan lama-lama pacarannya."
"Kamu kenal orangnya kok."
"Oh ya? temen kita juga dong?"
"Hm... bisa dibilang begitu."
"Wah, siapa ya? Kenapa main rahasia segala sih?" tanyaku benar-benar penasaran. Lyla tertawa, lalu mengambil smartphone-nya dan mengutak-atik sejenak. Beberapa menit kemudian ia menghadapkan layar smartphone-nya kepadaku. Foto Lyla bersama seorang pria yang wajahnya cukup familiar untukku.
"Ini... bukannya Zacky ya?" tanyaku memastikan. Aku ingat, di SMA dulu kami punya senior bernama Zacky yang sempat berpacaran dengan Lyla. Tadinya kupikir Lyla akan menggeleng, tapi di luar dugaan dia mengangguk dengan tanpa ragu.
"Tapi bukannya Zacky udah married?" tanyaku. Lebih tepatnya menggumam.
"Yup. Begitulah." jawab Lyla ringan seraya mengambil kembali smartphone-nya dari tanganku. "tapi nggak masalah. Dia memang mencintai istrinya. Tapi masih sayang sama aku." lanjutnya sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum datar. Senang mengetahui Lyla nggak banyak berubah. Tapi miris kenapa dia harus jadi selingkuhan orang....
"Kamu nggak kasihan sama istrinya?" tanyaku setelah kami saling diam beberapa menit.
Lyla tersenyum kecil. "gimana ya? Istri Zacky, wanita yang baik. Taat sama suami. Sayang, Zacky nggak ada bedanya sama Daryl." katanya datar. Tapi suaranya terdengar muram. Aku menunggunya bicara lagi. "Olivia, istri Daryl yang sekarang, dulu posisinya sama kayak aku. She's a lucky woman. Setidaknya Daryl menikahinya. Sedangkan aku... hmh... mungkin bakal jadi pacar gelap Zacky terus." jelasnya yang disusul tawa hambar.
"Aku becanda kok, Ses. Tentu aja one day aku pengen punya suami yang bukan suami orang dan mau membimbing aku." katanya dengan nada ceria dan optimis. Tapi aku nggak yakin dia seoptimis itu. Aku ikut tersenyum. Bingung harus gimana sebenernya...

Lima menit kemudian Lyla pamit. Dia harus ke Surabaya untuk mengurus bisnis barunya. Aku dengan tulus memberikan support-ku untuk yang satu ini dan memeluknya sebelum dia berlalu menuju mobilnya. Aku masih duduk di meja dan menatap kosong pada tumpukan tulang dan mentimun di piring, lalu mengambil smartphone-ku dan mencari nama seseorang di buku telepon.

Nada sambung terdengar sebelum kemudian seseorang berkata,
"Halo, sayang..."
"Assalamu'alaikum, honey."
"Wa'alaikumussalam... tumben kamu telepon?" katanya lembut.
"Kamu sayang aku kan?" tanyaku tanpa basa-basi.
Sunyi. Tapi selanjutnya aku mendengar dengan sangat jelas dan tidak perlu merasa khawatir lagi.
"Aku sayang kamu kemarin, hari ini, besok dan seterusnya meskipun kamu nggak tanya dan nggak mau tahu."
Aku tersenyum, bersamaan dengan gerimis yang membasahi bumi Pandaan..

--End--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar